Akibat Hukum Force Majeur dalam Pandangan Pakar Hukum Perdata
Utama

Akibat Hukum Force Majeur dalam Pandangan Pakar Hukum Perdata

Harus dilihat apakah force majeur bersifat absolut atau relatif. Renegosiasi kontrak adalah opsi yang umum.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

Dari putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesulitan ekonomi dapat digolongkan ke dalam kategori force majeur yang bersifat relatif. Intinya, penghentian pelaksanaan prestasi merupakan hal yang tidak bisa dilakukan. Argumentasi ini juga diperkuat dengan Putusan MA di tingkat kasasi pada kasus kerusuhan sosial 14 Mei 1998 (Putusan No. 2914 K/Pdt/2001).

Di situ, majelis kasasi menerima alasan pihak bank yang mengkhawatirkan alasan force majeur akibat kerusuhan dijadikan alasan untuk tidak membayar kredit. Padahal, kebakaran stok barang dagangan akibat kerusuhan hanyalah keadaan memaksa yang sifatnya relatif. “Akhirnya majelis kasasi menyatakan perusahaan pengelola kertas (debitur pihak bank) telah melakukan wanprestasi,” terangnya.

Berkaitan dengan jenis force majeur absolut dan force majeur relatif, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Katholik Parahyangan Bandung, Johannes Gunawan menjelaskan pembedaannya dilihat dari terhalang atau tidaknya debitur melaksanakan prestasi. Jika dalam perjanjian kedua belah pihak tidak dicantumkan klausula mengenai force majeur, maka para pihak harus melihat KUH Perdata sebagai hukum yang melengkapi (aanvullendrecht).

(Baca juga: Penting Diketahui! Alasan-Alasan Force Majeur dalam Yurisprudensi Perdata).

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya, Irawan Soerodjo menjelaskan terkait dengan jaminan kebendaan baik bergerak maupun tidak bergerak, harusnya dapat diantisipasi para pelaku usaha melalui asuransi Allrisk dan Riot, strike, malicious and damage (RSMD). Kondisi RSMD ini sangat bisa ditutup (cover)melalui polis asuransi dan jika berkaitan dengan mata uang asing seperti valuta asing yang mengakibatkan nilai tukar rupiah merosot, maka perlu juga diperhatikan mengenai hedge.

Hedge atau hedging merupakan strategi untuk melindungi, membatasi atau mengurangi risiko investor yang berhubungan dengan fluktuasi nilai tukar mata uang yang kerap tidak menguntungkan. Irawan berpandangan bahwa kondisi kesulitan ekonomi di masa pandemi Covid-19 sebetulnya sangat bisa diantisipasi. “Jangan sampai seolah-olah semua debitur minta force majeur untuk batalkan semua kontrak. Kalau seperti ini caranya bisa collapse,” tukasnya.

Jika terjadi risiko akibat pandemi yang sudah ditetapkan sebagai bencana nasional, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Rosa Agustina, merujuk pada Buku 6 Artikel 75 KUH Perdata Belanda yang baru (NBW). Pada intinya, kegagalan dalam menunaikan kewajiban bukan merupakan tanggung jawab debitur apabila kegagalan itu terjadi bukan karena kesalahan debitur, bukan karena tanggung jawabnya menurut hukum atau tindakan yuridis, atau pandangan yang berlaku umum. (The failure in the performance cannot be imputed to the debitor if it does not result from his fault, and if he cannot be held accountable for it by law, or juridical act, or common opinion either).

Guru Besar Hukum Perdata Universitas Airlangga Surabaya, Agus Yudha Hernoko, berpandangan bahwa penentuan akibat force majeur tidak sesederhana yang dibayangkan. “Bukan masalah sederhana, apalagi terkait dengan bisnis yang kompleks,” ujarnya dalam acara yang sama. Jika force majeur bersifat absolut, dampaknya adalah terhentinya pelaksanaan kontrak. Sedangkan pada force majeur relatif, pelaksanaan kontrak belum tentu terhenti. Tergantung bagaimana hasil negosiasi para pihak dalam perjanjian. Mungkin menunda pelaksanaan kontrak, atau melakukan negosiasi yang hasilnya disepakati.

Tags:

Berita Terkait