AKPI Respons Rencana Moratorium Permohonan PKPU dan Pailit
Utama

AKPI Respons Rencana Moratorium Permohonan PKPU dan Pailit

Presiden Jokowi diminta berhati-hati dalam menerbitkan kebijakan terkait moratorium PKPU dan pailit.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit

Sementara, Managing Partner pada Siregar Setiawan Manalu Partnership, Nien Rafles Siregar, meminta pemerintah untuk berhati-hati dan mempelajari usulan moratorium Kepalitan dan PKPU dengan mendegarkan seluruh stakeholder termasuk ahli hukum dan perbankan, termasuk membaca data kepailitan/PKPU. Moratorium Kepailitan dan PKPU berpotensi menambah angka kredit macet karena pilihan hukum untuk recovery yang terbatas dan tidak efektif.

Jika bersandar pada data di 5 pengadilan niaga di Indonesia, persentase bank sebagai pengaju atau pemohon PKPU/pailit itu sangat kecil. Artinya, mekanisme PKPU/pailit banyak diajukan oleh kreditur biasa, bukan lembaga perbankan.

“Perlu diingat pula, dana yang disalurkan ke debitur dana pihak ketiga, milik masyarakat juga. Jangan sampai pula moratorium dijadikan sarana berlindung untuk debitor beriktikad buruk dalam rangka menghindari kewajibannya ke perbankan,” kata Nien yang juga berprofesi sebagai kurator. Sekadar catatan, Kantor Hukum Siregar Setiawan Manalu Partnership adalah juara kedua dalam Top 30 Largest Law Firms: Litigation Practice 2021.

Nien menjelaskan bahwa umumnya bank menempatkan upaya hukum litigasi melalui PKPU/pailit sebagai jalan terakhir setelah tidak ada lagi harapan bagi debitur untuk melakukan restrukturisasi bilateral. Dia menegaskan tidak pernah ada bank yang gembira melihat debitur pailit karena bisnis bank itu bukan recovery, melainkan penyaluran kredit.

Selain itu, tidak semua kredit macet terjadi karena pandemi Covid-19. Kredit macet sangat mungkin bisa terjadi karena bisnis debitur sendiri sudah sunset dan tak efisien. “Apakah kreditor tidak dapat melakukan upaya penagihan untuk debitor yang macet sebelum pandemi? Lagipula, ada tidaknya pandemi kegiatan restrukturisasi bilateral lazim dipergunakan oleh bank dan debiturnya untuk membantu kesulitan keuangan debitur. Selama pandemi juga, sebagaimana kebijakan pemerintah, bank memberikan kemudahan bagi debitur melakukan restrukturisasi tanpa jalur pengadilan,” paparnya.

Nien juga mengingatkan bahwa menegakkan kontrak di Indonesia merupakan hal yang sangat sulit, apalagi jika itu terjadi dalam situasi wanprestasi sebagaimana tercermin dalam survey OEDB. Moratorium ini berpotensi mengganggu kemudahan berinvestasi di Indonesia karna perbankan akan sulit untuk memberikan kredit apabila upaya recovery tidak terjamin. Dalam survey Ease of Doing Business (Kemudahan Berusaha) dari World Bank, peringkat Indonesia dapat turun drastis.

“Instrumen Kepailitan dan PKPU sendiri juga merupakan jalan keluar untuk debitor yang mengalami kesulitan keuangan. Bukan hanya milik para kreditor. Lahirnya UU PKPU dan Kepailitan pada saat krismon dahulu, atas inisiatif IMF, karena pada saat itu tidak ada instrumen untuk penyelesaian utang yang efisien. Debitur juga membutuhkannya agar bisa menyelesaikan utangnya secara sekalian ke seluruh kreditor. Setelah itu bisa memulai bisnis baru dengan tenang,” tegasnya.

Sementara, kurator James Purba menambahkan PKPU adalah masa negosiasi atau restrukturisasi utang secara massal melalui Pengadilan Niaga yang di fasilitasi oleh Pengurus PKPU dan Hakim Pengawas.  Restrukturisasi utang di dalam proses PKPU ini melibatkan semua kreditur (kreditur separatis dan kreditur konkuren) dan jika berhasil mencapai perdamaian sesuai syarat di UU Kepailitan (Pasal 281) maka Perdamaian tersebut akan di sahkan oleh Pengadilan dan mengikat terhadap semua kreditur, walaupun ada yang tidak hadir. 

Jika pihak pemerintah ingin menurunkan jumlah perkara Kepailitan dan atau PKPU, James menilai moratorium bukanlah jalan keluar. Menurutnya, pemerintah seharusnya melakukan revisi (amandemen) UU Kepailitan, khususnya tentang Persyaratan Kepailitan dan PKPU dalam Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan. Membuat aturan jumlah minimal claim (utang) untuk bisa masuk ke perkara di Pengadilan Niaga, dan ini juga diberlakukan dalam UU Kepailitan beberapa negara lain di dunia ini.

“Selanjutnya menghapus atau meniadakan hak kreditur mengajukan PKPU (Pasal 222 ayat 3 UU Kepailitan), sebab pada prinsipnya restrukturisasi merupakan hak dari debitur. sehingga pihak debitur yang paling mengerti dan memahami apakah mereka perlu melakukan restrukturisasi atau tidak,” tandas James.

Tags:

Berita Terkait