Aktivisme dan Ancaman Judicial Harassment
Kolom

Aktivisme dan Ancaman Judicial Harassment

Tujuan dari judicial harassment adalah agar orang jadi takut, jera, dan berhenti menyuarakan kritik untuk kepentingan publik.

Bacaan 8 Menit

Dalam kerangka hukum di Indonesia, sekilas konsep judicial harassment muncul lewat regulasi Anti-SLAPP (Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation). SLAPP merupakan bagian dari judicial harassment. Walau konsep dasarnya sama, SLAPP dalam praktik mengerucut pada judicial harassment yang dilakukan pihak swasta untuk membungkam suara masyarakat, khususnya dalam kasus terkait praktik bisnis dan pengelolaan lingkungan hidup.

Regulasi Anti-SLAPP di Indonesia ada dalam Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal itu menegaskan bahwa orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak dapat dituntut pidana ataupun digugat perdata.

Dalam penjelasannya, dijabarkan bahwa Pasal 66 ini bermaksud untuk melindungi korban atau pelapor kasus perusakan lingkungan hidup. Pasal ini bermaksud mencegah pembalasan dari terlapor yang membalas dengan pemidanaan atau gugatan perdata. Dengan sendirinya, Pasal 66 ini mengakui adanya potensi judicial harassment dari terlapor untuk membalas pelapor dengan gugatan perdata atau pemidanaan.

Ketua Mahkamah Agung juga telah mengeluarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Dalam pedoman itu jelas disebut tentang Anti-SLAPP yang merupakan pelindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup. Pedoman ini juga memberikan panduan cara penggunaan argumentasi SLAPP dalam hal adanya gugatan ataupun pelaporan tindak pidana.

Sayangnya, regulasi Anti-SLAPP di Indonesia ini belum cukup memberikan pelindungan. Di lapangan, regulasi Anti-SLAPP ini belum cukup diindahkan oleh aparat penegak hukum. Sepanjang 2021, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat ada 58 kasus kriminalisasi yang tersebar terjadi di berbagai sektor (sektor pertambangan 52%, kehutanan dan perkebunan 34%, kawasan strategis pariwisata nasional 9%, lain-lain 5%).

Disangkal Tapi Nyata

Mendalilkan judicial harassment gampang-gampang susah. Gampang, karena bertebaran data pendukung dari penjuru dunia, bahwa judicial harassment benar terjadi dan nyata adanya. Susah, karena judicial harassment kerap disangkal keberadaannya baik oleh pemerintah, penegak hukum, ataupun sebagian kalangan masyarakat. Tak jarang, argumen judicial harassment dituduh cuma jadi alasan orang untuk menghindari proses hukum.

Business and Human Rights Resource Centre mencatat sepanjang 2015-2019 di berbagai negara ada 2.152 serangan terhadap tokoh masyarakat, petani, buruh, jurnalis, organisasi masyarakat sipil, dan pembela HAM lainnya. Orang-orang ini diserang ketika menyuarakan pandangannya soal praktik bisnis. Sebanyak 857 serangan, sekitar 40%, adalah serangan dengan menggunakan proses hukum atau peradilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait