Aktivisme dan Ancaman Judicial Harassment
Kolom

Aktivisme dan Ancaman Judicial Harassment

Tujuan dari judicial harassment adalah agar orang jadi takut, jera, dan berhenti menyuarakan kritik untuk kepentingan publik.

Bacaan 8 Menit

Sementara itu, data tentang judicial harassment di Indonesia tersebar dalam berbagai laporan organisasi masyarakat sipil. Misalnya catatan dari Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), bahwa dalam kurun waktu 6 tahun terakhir terjadi 1.587 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat sipil yang menyuarakan kritik. Korbannya beragam, mulai dari petani, masyarakat hukum adat, juga nelayan, dalam berbagai kasus agraria dan sumber daya alam.

Ironisnya, praktik judicial harassment adakalanya malah dapat dukungan dari sesama warga. Ungkapan misalnya: "Berani kritik, harus berani tanggungjawab", atau "Kalau punya bukti, buktikan saja di pengadilan" dan yang sejenisnya, cukup sering muncul ketika ada warga yang digugat atau dipidanakan karena menyuarakan kritik.

Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat atas pentingnya kebebasan mengkritik, dan bahaya praktik judicial harassment. Untuk itu, maka konsep judicial harassment perlu diperkokoh dengan argumentasi yang kuat, dan perlu dukungan bukti yang dicatat rinci dan rapih. Praktik judicial harassment harus bisa dikenali ciri-cirinya, dan bisa dibedakan dari sengketa hukum biasa yang merupakan tindakan hukum yang sah (legitimate legal action).

Foundation for Press Freedom (FLIP) membuat laporan berjudul Laws to Silence: Judicial Harassment Against Freedom of Speech in Mexico and Colombia (2021), dan mencoba merumuskan empat karakteristik utama dari judicial harassment. Rumusan ini cukup mudah dipahami, utamanya untuk membedakan judicial harassment dengan sengketa hukum biasa.

Empat karakteristik itu adalah: 1) Judicialization of Freedom of Speech Conflicts: Adanya konflik mengenai kebenaran suatu ekspresi tertentu, baik berupa informasi maupun opini, yang kemudian dibawa ke muka pengadilan, 2) Appearance of an Unfounded Cause: Adanya penggunaan jalur hukum yang sembrono (reckless) atau tak beralasan (unreasonable), yang dimaksudkan lebih untuk menekan dan menimbulkan rasa takut, 3) Inequality Between the Parties to the Conflict: Adanya ketimpangan kekuatan yang substansial antara pihak yang berhadapan, baik dari segi politik, ekonomi, ataupun sosial, dan 4) Silencing an issue of public interest: Ekspresi yang dipersoalkan terkait kepentingan publik dan berdampak pada ranah sosial, politik, ekonomi masyarakat.

Pada 2015 beberapa organisasi masyarakat sipil (PSHK, LeIP, LBH Jakarta, KontraS, Mappi, YLBHI, KPA, LBH Masyarakat, dan WALHI) membuat laporan berjudul "Kriminalisasi". Laporan itu mencoba menemukan indikator untuk bisa membuktikan adanya motif kriminalisasi. Laporan itu menekankan, betapa pentingnya untuk melihat latar belakang kasus itu secara utuh, terutama tentang keberadaan konflik sebelumnya antara terlapor dengan pelapor.

Inequality Before The Law

Persamaan di muka hukum (equality before the law) adalah prinsip yang kemudian dijadikan cita-cita bersama untuk diperjuangkan perwujudannya. Dalam kenyataan, yang masih terjadi dalam praktik adalah ketimpangan di muka hukum (inequality before the law). Perlu diakui, bahwa dalam banyak kasus, ada segelintir pihak yang punya kekuatan lebih besar dari segi politik ataupun ekonomi. Kekuatan dan kekuasaan ini membuat mereka bisa lebih diistimewakan dalam penegakan hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait