Aktivisme dan Ancaman Judicial Harassment
Kolom

Aktivisme dan Ancaman Judicial Harassment

Tujuan dari judicial harassment adalah agar orang jadi takut, jera, dan berhenti menyuarakan kritik untuk kepentingan publik.

Bacaan 8 Menit

Ketimpangan di muka hukum ini nyata, dan merupakan karakteristik pembeda utama antara judicial harassment dan sengketa hukum biasa. Kita perlu cermat ketika melihat kasus gugatan atau pemidanaan kepada warga yang menyuarakan kritik. Kita tak boleh begitu saja merapal mantra equality before the law, tiap lihat ada petani, buruh, jurnalis, atau aktivis yang digugat atau dilaporkan kasus pidana oleh para pemegang kekuasaan. Nyatanya, tak semua orang sama di muka hukum.

Tentu masih ada yang belum mau menerima kenyataan, bahwa Dewi Justitia adakalanya mengintip dan berhitung dari balik penutup mata sebelum ayunkan pedangnya. Pedang sang dewi keadilan bisa menebas garang ke segala arah, namun melambat bahkan berhenti ketika mengayun ke arah segelintir pemegang kekuasaan. Bahkan dalam kasus-kasus judicial harassment, tak tertutup kemungkinan bahwa sebenarnya pemegang kekuasaanlah yang mengarahkan ayunan pedang dewi keadilan. Masalahnya, untuk membuktikan adanya kolaborasi praktik buruk ini amatlah sulit.

Dalam konteks Indonesia, kita berhadapan dengan penerapan UU ITE yang kian mencemaskan. Laporan Safenet (2022) menunjukkan bahwa sejak 2021 aktivis jadi pihak yang paling sering dipermasalahkan dengan UU ITE. Umumnya, aktivis dikenakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan atau pencemaran nama baik. Makin runyam, ternyata pejabat publik adalah pengguna terbanyak UU ITE (35,7%), disusul oleh petinggi institusi, pimpinan perusahaan dan organisasi (32,1%), dan terduga pelaku kekerasan (14,3%). Data ini sedikit-banyak menunjukkan indikasi, bahwa UU ITE kemungkinan telah jadi salah satu instrumen judicial harassment.

Ruang gerak masyarakat sipil (civic space) yang sehat, sangatlah diperlukan dalam membentuk negara yang demokratis dan sejahtera. Aktivisme dan gerakan partisipasi publik yang aktif, merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas pembentukan dan implementasi kebijakan publik. Keterlibatan warga, termasuk lewat kritik, jelas berkontribusi positif pada akuntabilitas tata kelola pemerintahan.

Tentu ancaman dan serangan pada aktivisme bukan hanya judicial harassment. Mulai dari serangan remeh-temeh seperti cibiran peyoratif disebut Social Justice Warrior alias SJW, sampai serangan serius seperti stigmatisasi, diretas, doxing, perisakan siber, serangan kekerasan fisik, penganiayaan, sampai dibunuh.

Perlu solidaritas sesama warga dalam menghadapi ancaman dan menemukan solusi atas judicial harassment. Dalam ruang kebebasan yang menyempit, kita semua adalah calon tersangka. Mungkin hari ini giliran dia atau mereka. Besok lusa, bisa jadi giliran kita.

*Eryanto Nugroho adalah Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Dosen STH Indonesia Jentera. Penulis juga merupakan salah seorang pendiri Lokataru.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait