Alasan AJI Indonesia Minta Kominfo Cabut Aturan PSE Lingkup Privat
Terbaru

Alasan AJI Indonesia Minta Kominfo Cabut Aturan PSE Lingkup Privat

AJI menilai aturan ini sebagai ancaman baru untuk menggerogoti kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di tanah air.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

AJI telah mengidentifikasi setidaknya empat pasal penting dalam aturan lisensi PSE dalam Permenkominfo 5/2020 yang mengancam kebebasan pers. 

Pertama, Pasal 9 (poin 3 dan 4) dengan tegas melarang PSE swasta memuat konten yang mengandung informasi yang dilarang, termasuk yang melanggar hukum, menimbulkan keresahan masyarakat, dan mengganggu ketertiban umum. Istilah “menimbulkan keresahan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” adalah pasal-pasal 'karet'.

Dapat diartikan sebagai sasaran kritik terhadap penguasa, lembaga negara, dan penegak hukum. Peraturan tersebut juga tidak menyebutkan mekanisme pengaduan masyarakat dan pihak independen yang berwenang memeriksa isinya.

Pasal 'karet' dapat menyamakan antara konten kritis seperti hoax atau menyebabkan keresahan publik. Misalnya, liputan media investigatif tentang kejahatan atau konten tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Dengan kata lain, AJI menilai hal tersebut bisa menjadi alat bagi penguasa untuk menyalahgunakan kekuasaannya. 

Kedua, Pasal 14 memungkinkan warga negara, kelompok masyarakat sipil, lembaga negara dan pemerintah, atau penegak hukum untuk meminta pemblokiran akses informasi yang menurut mereka menyebabkan keresahan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Pasal ini berisiko diblokir secara sepihak oleh siapapun atau institusi manapun, terutama yang memiliki kekuasaan atau agenda politik. 

Ketiga, Pasal 21 dan Pasal 36 mewajibkan PSE untuk memberikan akses kepada kementerian, lembaga negara, dan penegak hukum untuk dapat memasukkan data dan sistem elektroniknya untuk alasan pengawasan atau membantu penegakan hukum.

AJI memperingatkan bahwa akses ini dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk mengontrol media secara internal. Pemberian akses ke data pribadi sangat melanggar hak privasi publik, termasuk jurnalis. Sebaliknya, AJI mengingatkan pemerintah bahwa tugasnya adalah melindungi privasi data dan kebebasan pers dan berekspresi, sebagaimana juga dinyatakan dalam undang-undang.

"Seharusnya mereka tidak mengeluarkan peraturan yang menghambat kebebasan pers,” kata Adi Marsiela, Kepala Divisi Internet AJI. AJI menyerukan kepada media dan jurnalis untuk kritis terhadap aturan lisensi PSE tentang Permenkominfo 5/2020 dan peraturan lainnya yang merusak kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, menjelaskan kewajiban pendaftaran tersebut bertujuan untuk mendata para pelaku usaha yang menyelenggarakan layanan sistem dan transaksi elektronik di Indonesia. Sebab, para pelaku usaha tersebut menyelenggarakan kegiatan mulai dari penghimpunan data pribadi hingga menyelenggarakan transaksi yang memiliki nilai profit.

"Maksud dan tujuan kenapa semua PSE wajib daftar karena aktivitas ekonomi saat ini bukan hanya ruang fisik, tapi ruang digital yang tanpa batas. Pelaku usaha digital yang targetkan Indonesia sebagai market wajib daftar. Harus tahu apa layanan yang diberikan, kalau permasalahan bagaimana, banyak aturan yang harus dipatuhi, kalau berusaha di ruang digital itu bukan domisili di Indonesia kan mereka juga ada aturan yang harus dipatuhi,” jelas Semuel, Selasa (19/7).

Tags:

Berita Terkait