Alasan Aliansi Minta Pelanggaran HAM Berat Tidak Masuk RKUHP
Terbaru

Alasan Aliansi Minta Pelanggaran HAM Berat Tidak Masuk RKUHP

Karena berpotensi melemahkan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat dan menghapus asas retroaktif.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY

Pemerintah dan DPR menargetkan pembahasan RUU KUHP (RKUHP) selesai dalam waktu dekat. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Untuk Reformasi KUHP terus mengingatkan masih banyak suibstansi RUU KUHP yang perlu dibenahi. Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, mengatakan salah satunya berkaitan dengan pengaturan pidana pelanggaran HAM berat yang masuk dalam RKUHP.

Pengaturan pelanggaran HAM berat dalam RKUHP menurut Fatia akan mengganggu penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Dia melihat proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur selama ini melalui UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM masih bermasalah karena tidak sesuai dengan standar internasional antara lain sebagaimana diatur dalam kovenan Sipol dan Statuta Roma.

Berbagai persoalan dalam UU No.26 Tahun 2000 itu menyebabkan penyelesaian pelanggaran HAM berat terhambat. Sekalipun pernah digelar beberapa kali persidangan HAM berat seperti kasus Tanjung Priok, tapi hasilnya belum sesuai harapan publik. Fatia berpendapat impunitas yang banyak terjadi sekarang ini disebabkan antara lain karena dampak dari tidak selesainya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Dimasukannya ketentuan pelanggaran HAM berat dalam RKUHP malah mengkerdilkan (melemahkan, red) penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat,” kata Fatia dalam Media Briefing Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Kamis (17/6/2022).

Baca Juga:

Fatia melihat RKUHP berpotensi menghapus asas retroaktif yang saat ini diatur dalam UU No.26 Tahun 2000. Dalam Pasal 617 RKUHP diatur UU yang memuat ketentuan pidana harus menyesuaikan dengan buku I UU ini (RKUHP, red). Mengacu ketentuan tersebut asas retroaktif dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat berpotensi hilang.

Menurut Fatia, penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM berat sangat lemah. Terbukti dalam kasus Tanjung Priok dan Timor Timur dimana proses pengadilan tidak mengungkap adanya rantai komando dalam perkara itu. Bahkan dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai yang saat ini disiapkan untuk masuk ke tahap peradilan, hanya menetapkan 1 orang pelaku. Padahal bentuk pelanggaran HAM berat itu sifatnya terstruktur dan sistematis sehingga pelakunya berpotensi lebih dari 1 orang.

Tags:

Berita Terkait