Alasan KSPI Tolak Aturan Penetapan Upah Minimum 2022
Utama

Alasan KSPI Tolak Aturan Penetapan Upah Minimum 2022

Karena dasar yang digunakan yakni UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya. Buruh mengusulkan pemerintah menunggu hasil uji materi UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK).

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi pengupahan. BAS
Ilustrasi pengupahan. BAS

Serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak untuk ikut dalam pembahasan penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2022. Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan sikap menolak ini karena penetapan UMK 2022 menggunakan dasar UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya yakni PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.  

Sampai saat ini, MK masih memproses uji materi UU No.11 Tahun 2020 dengan agenda sidang terakhir yakni mendengarkan keterangan ahli dari pemohon. Iqbal berpendapat seharusnya pemerintah menunggu hasil sidang uji materi yang dilakukan Majelis MK sebelum menetapkan upah minimum. Namun demikian, KSPI telah melakukan survei kebutuhan hidup layak (KHL) di berbagai daerah hasilnya, rata-rata kenaikan UMK sekitar 7-10 persen.

“Kami mendesak besaran UMK 2022 naik 7-10 persen sesuai kondisi masing-masing daerah. Artinya penetapan UMK tidak menggunakan UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya, tapi survei KHL,” kata Said Iqbal dalam konferensi pers secara daring, Rabu (29/9/2021). (Baca Juga: Sejumlah Substansi UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh)

Iqbal melihat bupati/walikota berpeluang untuk menetapkan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) melalui peraturan daerah (perda). Menurut Iqbal, bisa saja UMSK menggunakan istilah lain, misalnya upah minimum kelompok industri atau upah minimum Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). “Bupati/Walikota bisa menetapkan UMSK melalui Perda,” usulnya.

Soal bantuan sosial upah (BSU) dan kartu prakerja, Iqbal berharap kedua program sosial itu terus berjalan karena pandemi Covid-19 belum berakhir. Daya beli buruh terpukul karena dampak pandemi Covid-19. Misalnya, buruh yang dirumahkan upahnya dikurangi oleh pemberi kerja, atau malah ada buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Syarat penerima BSU harusnya tidak lagi mengacu level PPKM, tapi diberikan kepada buruh yang mengalami PHK, buruh harian, dan buruh yang dipotong upahnya.

“Besaran BSU lebih baik ditingkatkan karena buruh pasti membelanjakan uang itu untuk memenuhi kebutuhan setiap hari,” harapnya.

Untuk kartu prakerja, Iqbal berharap pemerintah meningkatkan manfaat berupa uang saku dan mengurangi porsi pelatihan (training). Pada saat pandemi Covid-19 berakhir porsi manfaat yang diterima bisa dikembalikan lagi seperti awal.

Tags:

Berita Terkait