Alasan MK Tolak ‘Gugatan’ INews-RCTI Terkait Tafsir Penyiaran Berbasis Internet
Berita

Alasan MK Tolak ‘Gugatan’ INews-RCTI Terkait Tafsir Penyiaran Berbasis Internet

Tidak ada persoalan konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 sepanjang berkaitan dengan dalil para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Permohonan uji materi Pasal 1 angka 2 UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terkait sistem penyiaran melalui spektrum frekuensi radio yang diajukan INews dan RCTI ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Intinya, MK menganggap tak bisa mengubah Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran dengan memasukan pengaturan penyelenggara penyiaran menggunakan internet, seperti layanan over the top (OTT) dalam UU Penyiaran.      

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan Putusan MK No. 39/PUU-XVIII/2020, Kamis (14/1/2021). (Baca Juga: Ahli: Negara Harus Atur Layanan Konten Penyiaran Berbasis Internet)

Sebelumnya, kedua perusahaan penyiaran ternama itu, melalui pengujian Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran, meminta agar layanan siaran televisi secara online ini seharusnya diatur pula dalam UU Penyiaran karena memiliki unsur-unsur yang sama sebagaimana halnya lembaga penyiaran konvensional, seperti gambar, suara, grafis, karakter, dan lain-lain.  

Pasal 1 angka 2 berbunyi, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”. 

Bagi Pemohon, Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran itu telah menimbulkan kerugian konstitusional karena menyebabkan adanya pelakukan berbeda (unequal treatment) antara para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet, seperti layanan Over The Top (OTT) saat melakukan aktivitas penyiaran.

Secara sederhana OTT sebagai layanan konten berupa data, informasi atau multimedia yang beroperasi melalui jaringan internet yang sedikitnya ada tiga kategori. Pertama, aplikasi seperti whatsapp, Line, Telegram, Skype, Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain. Kedua, konten/video on demand/streaming, seperti Youtube, HOOQ, Iflix, Netflix, Viu, dan lain-lain. Ketiga, jasa seperti Go-Jek, Grab, Uber. 

Menurut para pemohon, tidak adanya kepastian hukum penyiaran menggunakan internet seperti layanan OTT dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran. Padahal, UU Penyiaran merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan.

Tags:

Berita Terkait