Alasan MK Tolak Pengujian Kawin Beda Agama
Utama

Alasan MK Tolak Pengujian Kawin Beda Agama

Melalui putusan sebelumnya, MK telah memberi landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum. Dalam concurring opinion, dua hakim konstitusi mengusulkan Perubahan UU Perkawinan untuk mengakomodir perkawinan beda agama.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit

“Meskipun Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 meletakkan perkawinan yang sah merupakan syarat untuk melindungi hak membentuk keluarga dan hak untuk melanjutkan keturunan, tetapi syarat tersebut bersifat wajib. Karena tidak dapat membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan apabila tidak dilakukan melalui perkawinan yang sah. Dengan menggunakan kaidah hukum, sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban hukumnya menjadi wajib (mâ lâ yatiimmu alwâjibu illâ bihî fahuwa wâjib), maka perkawinan yang sah juga merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi,” dalih Mahkamah.

Hakim Konstitusi Wahiduddin melanjutkan ihwal keberadaan negara mengatur perkawinan, MK pernah mempertimbangkannya dalam Putusan Nomor 56/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Juli 2018 lalu. Berkenaan dengan beragama pada dasarnya terbagi menjadi dua. Pertama, beragama dalam pengertian menyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum internum yang tidak dapat dibatasi pemaksaan bahkan tidak dapat diadili. Kedua, beragama dalam pengertian ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati Nurani di muka umum yang merupakan ranah forum externum.

Perkawinan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai ekspresi beragama. Dengan demikian, perkawinan dikategorikan sebagai forum eksternum di mana negara dapat campur tangan sebagaimana halnya dengan pengelolaan zakat maupun pengelolaan haji. Tapi, peran negara bukanlah membatasi keyakinan seseorang, melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU 1/1974.

Untuk itu, segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan warga negara termasuk dalam hal menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan.

Pengaturan demikian sejalan pula dengan Pasal 28J UUD 1945 bahwa dalam menjalankan hak yang dijamin UUD 1945, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berdasarkan hukum.

Perubahan UU Perkawinan

Dua hakim konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan yang berbeda (concurring opinion) atas putusan perkara pengujian UU Perkawinan ini. Menurut Suhartoyo, dalam konteks penegakan UU Perkawinan, fenomena perkawinan beda agama tersebut di atas seolah-olah terjadi karena “kurang atensinya” negara yang tidak mengakui dan menganggap “tidak sah secara agama” terhadap perkawinan beda agama karena legalisasi perkawinan menurut hukum sipil hanyalah berupa pencatatan administrasi.

Oleh karena itu, adanya bentuk ketidakpastian hukum demikian, seyogyanya negara hadir untuk menyelesaikan permasalahan terkait melalui adanya pembangunan atau perubahan UU Perkawinan yang pada saat diterbitkannya pada tahun 1974 tentu kondisi sosial dan dinamika kehidupan masyarakat belum sekompleks saat ini. Terlebih, pada perubahan UU Perkawinan dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 hanyalah mengubah norma mengenai batas usia kawin sebagaimana implikasi dari putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait