Alasan Pemerintah Pertahankan Pasal Penghinaan Kepala Negara dalam RKUHP
Utama

Alasan Pemerintah Pertahankan Pasal Penghinaan Kepala Negara dalam RKUHP

Terdapat perubahan delik menjadi aduan. Kritik terhadap kinerja ataup program kerja presiden tidak dapat dipidana. Namun, dalam negara demokrasi, pasal penghinaan kepala negara dalam RKUHP dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Ketiga, tidak sesuai dengan equality before the law. Menurutnya, mengapa penghinaan presiden bukanlah penghinaan biasa, toh presiden warga negara biasa. Baginya pandangan tersebut mudah ditampik. Di KUHP banyak negara terdapat pasal yang mengatur tentang makar yakni berupa pembunuhan terhadap presiden.

“Mengapa pasal itu tidak dihapus saja, kan ada pasal pembunuhan biasa. Mengapa presiden harus diistimewakan, ya memang harus diistimewakan. Tidak gampang menjadi presiden untuk 200-an juta penduduk. Selain itu, presiden adalah personifikasi negara. Jadi harus ekstra perlindungan negara. Jadi (pasal penghinaan terhadap kepala negara, red) kita tetap pertahankan,” tegasnya.

Terpisah, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Dirjen PP) Kemenkumham, Dhahana Putra menjelaskan pasal penghinaan kepala negara dalam RKUHP, pemerintah membuat formulasi menjadi delik aduan. Kemudian laporan atau aduan pun dapat disampaikan secara tertulis kepada kepolisian. Ada anggapan sebagian masyarakat pasal tersebut seperti “zombie” karena sudah dibatalkan MK, tetapi hidup Kembali.  

Namun, tim perumus RKUHP telah mengkomparasikan antara substansi pengaturan penghinaan presiden dalam KUHP dengan yang terdapat dalam draf RKUHP. Dia menegaskan dalam RKUHP yang dapat dipidana dengan pasal tersebut seperti menyerang harkat dan martabat kepala negara. Apalagi pejabat presiden dan wakil presiden dipilih mayoritas rakyat Indonesia melalui mekanisme pemilihan umum.

“Jadi dalam konteks seperti ini kami sangat membutuhkan pasal itu, tapi juga kami berikan batasan. Batasannya adalah kalau sifatnya kritik misalkan presiden enggak bagus dari segi programnya, presiden enggak mampu mengaplikasikan programnya, itu hanya kritik, itu tidak dipidana. Tapi kalau menyerang harkat dan martabatnya itu bisa dipidana,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen.

Sementara Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpendapat keberadaan pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP bermula Indonesia dijajah Belanda. Sementara di Belanda, terdapat ratu yang jabatannya seumur hidup, serta dapat diganti setelah meninggal dunia. Karenanya, ratu harus dilindungi melalui hukum pidana. “Itulah kenapa tidak boleh dihina, itulah penghinaan terhadap presiden,” ujarnya.

Akan tetapi, di negara demokrasi seperti Indonesia pemilihan pemimpin nasional berupa pejabat presiden dan wakil presiden melalui mekanisme pemilihan umum lima tahunan, pasal penghinaan kepala negara dalam RKUHP sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian. “Kalau menurut saya itu sudah enggak relevan karena sebenarnya kata Presiden itu lembaga, institusi, bukan orang,” ujarnya.

Sebaliknya, bila pejabat presiden dihina secara pribadi, maka dapat dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP yang berlaku saat ini, sehingga pejabat presiden masih dapat menuntut ketika dirinya dihinakan atau dilecehkan. Sebaliknya, ketika penghinaan terhadap lembaga kepresidenan, semestinya tak ada lagi tindak pidana penghinaan terhadap presiden. “Karena kita memilihnya sebagai negara demokrasi.”

Tags:

Berita Terkait