Alasan Pentingnya Merevisi UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
Terbaru

Alasan Pentingnya Merevisi UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah

Seperti menyikapi perkembangan dinamika di Arab Saudi, serta aspek ekonomi. Penyelenggaraan ibadah haji di Saudi sudah menjadi industri, tidak sebatas penyelengaraan ibadah semata.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
 Kiri-kanan: Anggota Komisi VIII Bukhori Yusuf, Sekjen AMPHURI Faried Aljawi. Foto: Istimewa
Kiri-kanan: Anggota Komisi VIII Bukhori Yusuf, Sekjen AMPHURI Faried Aljawi. Foto: Istimewa

Situasi pandemi Covid-19 transisi menuju endemi berdampak terhadap penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Terlebih, dinamika di tanah Mekkah berdampak pula terhadap besaran ongkos ibadah haji dan umrah. Sementara UU No.8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah perlu menyesuaikan dengan berbagai kondisi yang ada.

 

Anggota Komisi VIII Bukhori Yusuf, mengatakan Revisi UU 8/2019 sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 dengan nomor urut 8. Alasan UU yang baru  saja berlaku 3 tahun itu dikarenakan banyaknya persoalan. Pertama, menyikapi dinamika yang berkembang di Arab Saudi, khususnya.

 

Negara gurun pasir itu terbilang dinamis. Seperti saat 2020, bila tidak pandemi Covid-10 sudah dicanangkan penyelenggaraan ibadah haji tidak hanya dilihat dari aspek pelayanan semata, tapi pula keenomian. Oleh karena itulah, penyelenggara haji dan umrah di Saudi tidak lagi dikendalikan Menteri Haji dan Umrah.

 

“Tapi dipegang oleh Menteri Pariwisata, ini penting,” ujarnya dalam diskusi Forum Legislasi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (14/2/2023).

 

Baca juga:

 

Kedua,  aspek ekonomi. Bukhori mengatakan, sudut pandang yang digunakan tidak murni sebuah pelayanan ibadah semata. Tapi menjadi penyelenggaraan ibadha haji menjadi sebuah ‘industri’. Pasalnya, saban musim haji berdampak terhadap aspek ekonomi yang amat luar biasa. Setidaknya sepanjang sekali musim haji, dana calon jamaah haji Indonesia mencapai Rp40 triliun selama tiga bulan  berputar di tanah Mekkah.

 

“Makanya ini harus diubah,” imbuhnya.

 

Paradigma pemerintah Saudi dalam penyelenggaraan haji, menurut Bukhori tak lagi ditangani muassasah atau lembaga sosial. Sebab aspek pertangggungjawaban publiknya tak dapat diukur, dipantau dan tak ada audit publik. Kemudian orientasi pendayagunaannya serta sumber daya manusianya menjadi tidak dapat diukur.

 

“Sekarang semua pelayanan yang di Arab Saudi terkait haji dan umroh itu dilakukan oleh PT atau syarikat. Jadi swastanisasi terhadap penyelenggaraan itu menjadi sangat kental,” ujarnya.

 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu melanjutkan, penyelenggaraan haji menjadi kental dengan swastanisasi. Oleh karena itu, persoalan UU 8/2019 mengamanatkan penyelenggaraan haji berada di tangan Kementerian Agama. Dengan kata lain, ketika melakukan berbagai macam negoisasi dilakukan antara government to bussines (G2B).

 

Akibat ketiadaan equalitas berdampak terhadap banyaknya kendala, khususnya dalam pengambilan keputusan. Sistem penyelenggaraan yang dirancang dalam UU 8/2019, menurut Bukhori tidak sepenuhnya kompatibel dalam merespons berbagai perkembangan baru. Tapi begitu, revisi UU 8/2019  menjadi usulan DPR perlu mendapat persetujuan pemerintah.

 

“Nah pemerintah setuju atau tidak, sehingga perjalanan pembahasan RUU ini tergantung pemerintah,” katanya.

 

Dia menilai dampak revisi UU 8/2018 dipastikan mengena Kemenag dan sistem perjalanan haji. Namun normatifnya, revisi 8/2019 mesti dibahas di 2023. Sebab bila melewati 2023, Prolegnas Prioritas bakal direvisi ulang menentukan revisi UU 8/2019 menjadi prioritas atau sebaliknya.  “Ketika turun bukan menjadi prioritas, gak bisa lagi dibahas, tetapi ini punya waktu satu tahun ini,” ujarnya.

 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) Faried Aljawi menambahkan, keberadaan UU 8/2019 memang sudah harus direvisi. Sebagai penyelenggara ibadah haji dan umrah, Faried merasakan tak lagi relevannya UU 8/2019 dengan situasi kekinian.

 

Dia berpendapat, UU 8/2019 belum mengatur proses transformasi digital tentang penyelenggaraan haji dan umrah. Penyelenggaraan haji di berbagai negara sudah dionline-kan. Seperti di Australia, Inggris. Lantas bagaimana dengan Indonesia?. “Ini pertanyaannya, maka pemerintah Indonesia harus mengatur tentang digitalisasi haji dan umroh seiring dengan kebijakan Arab Saudi,” ujarnya.

 

Kemudian, soal kebutuhan regulasi skema G2B dalam ekosistem haji dan umrah. Setidaknya merancang skema terbaik bagi jamaah haji dan umrah asal Indonesia. Dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, pemerintah mesti memastikan proteksi terhadap calon jamaah.

 

Proteksi tersebut bila penyelenggaraan haji dan umrah dibebaskan, lantas siapa yang dapat mengakses. Kemudian dampaknya seperti apa. Termasuk bila haji dan umrah diproteksi, dampaknya bagaimana. Sementara bila dibebaskan, suudah terdapat banyak aplikasi  yang menawarkan langsung ke masyarakat tiket penerbangan hingga penginapan.

 

“Mereka booking, mereka tinggal berangkat di sana hotelnya ada, pesawatnya ada dan tidak ada yang bisa mencegah, lalu apa gunanya UU,” ujarnya.

 

Dia mengusulkan tentang sinkronisasi kebijakan antar kementerian yang diatur oleh pemerintah bersama Komisi VIII melalui revisi UU 8/2019. Khususnya terkait digitalisasi yang menjadi domain Kemenag dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan ibadah haji. Karenanya, Kemenag mesti menggandeng semua stakholder.

 

“Maka gandenglah Kementerian Luar Negeri, Kementerian Komunikasi dan Informasi, karena ini semuanya platform digital,” pungkasnya.

 

 

Tags:

Berita Terkait