Alasan Peraturan Harus Selaras dengan Pancasila dan Konstitusi
Utama

Alasan Peraturan Harus Selaras dengan Pancasila dan Konstitusi

Karena Indonesia menggunakan tradisi civil law (eropa kontinental), maka peraturan yang ada terikat pada sumber hukum tertinggi yakni Pancasila dan konstitusi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Terakhir, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam UU No,12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang terdiri dari UUD RI 1945; Ketetapan MPR; UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Kabupaten/Kota.

UU payung dan omnibus

Mantan Hakim Konstitusi ini menyoroti Pasal 8 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 yang mengatur lembaga yang menerbitkan peraturan perundang-undangan, seperti MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau setingkat. Maria menilai peraturan yang diterbitkan oleh masing-masing lembaga itu bukan peraturan perundang-undangan karena tidak mengikat keluar.

“Yang diterbitkan hanya peraturan internal, bukan peraturan perundang-undangan,” paparnya.

Maria menegaskan dari berbagai peraturan terkait jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan itu hanya mengenal istilah UU, tidak ada UU payung dan omnibus. Mengenai pandangan yang mengatakan omnibus law adalah UU payung, Maria berpendapat omnibus bukan UU payung. Menurutnya, UU payung dimaknai dengan UU yang merupakan induk dari UU lainnya, sehingga kedudukannya lebih tinggi dari UU anaknya atau yang sebelumnya sudah ada.

Sedangkan UU Omnibus Law adalah satu UU baru yang mengandung atau mengatur berbagai macam materi dan subyek untuk penyederhanaan dari berbagai macam UU yang berlaku. Beberapa kalangan menyebut Indonesia pernah membuat UU payung, seperti UU No.5 Tahun 1969 tentang Pernyataan sebagai Penetapan Presiden (Penpes) dan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai UU. Maria mencatat UU tersebut mencakup 129 Penpes/Perpres. Persoalannya, UU No.5 Tahun 1969 tidak mengatur sebagian pasal Penpes dan Perpres karena UU itu hanya mengelompokkannya.

Maria menilai teknik penyusunan UU Cipta Kerja yang menggunakan metode omnibus law bermasalah karena mengubah puluhan UU. Ini akan menyulitkan, salah satunya bagaimana menyebut UU yang diubah melalui UU Cipta Kerja itu. Misalnya, UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal merupakan salah satu UU terdampak UU Cipta Kerja.

“Bagaimana penyebutan UU No.33 Tahun 2014 itu setelah diubah UU Cipta Kerja, apakah menjadi UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang telah diubah dengan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?”

Pusat dan Daerah

Guru Besar FH UII Yogyakarta, Prof. Ni’matul Huda, menyoroti ada benturan kepentingan pemerintah pusat dan daerah dalam UU Cipta Kerja. Menurutnya, pengaturan model hubungan pusat dan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah itu cenderung sentralistik dan berpotensi menimbulkan konflik atau sengketa antara pusat dan daerah.

“Karena ada perubahan kewenangan dan pembagian urusan berimplikasi pada perubahan pembagian keuangan daerah. Perubahan keuangan akan mengikuti peralihan kewenangan dan penambahan urusan,” kata Prof Ni’matul Huda dalam kesempatan yang sama. 

Menurut Ni’matul, desentralisasi merupakan cara sebuah rezim atau negara untuk menghadirkan sistem yang lebih mencerminkan nilai-nilai demokratis karena sebagian kewenangan diserahkan kepada pemerintah lokal untuk aktif merespon segala hal terkait kebutuhan rakyat di daerah.

“Desentralisasi memang tidak mempunyai suatu definisi yang tunggal. Apapun definisi desentralisasi yang dipilih harus terjadi harmonisasi yang baik antara desentralisasi politik, administrasi, dan fiskal,” katanya.

Tags:

Berita Terkait