Alat Bukti Elektronik dalam Konteks UU ITE
Kolom

Alat Bukti Elektronik dalam Konteks UU ITE

​​​​​​​Informasi elektronik dapat menjadi alat bukti elektronik apabila telah diverifikasi keaslian, keakuratan, dan keutuhannya melalui audit forensik teknologi informasi.

Bacaan 9 Menit

Penjelasan Umum UU ITE menyatakan: “Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik".

Secara normatif, Pasal 5 ayat (2) UU ITE menyatakan: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”.

Berdasarkan ketentuan ini, di samping alat bukti yang dikenal secara konvensional selama ini, kini dalam transaksi elektronik (baik publik maupun privat), juga dikenal adanya alat bukti elektronik berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya. Sebagai jenis alat bukti baru, tentu masih terdapat perbedaan pendapat atas konsep dan prosedur pemeriksaan alat bukti elektronik. Untuk itu, tulisan ini akan mengulas konsep alat bukti elektronik berdasarkan rezim UU ITE dan prosedur pemeriksaannya.

Konsep Alat Bukti Elektronik

Penalaran hukum untuk menemukan konsep alat bukti elektronik dilakukan melalui penelusuran peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang alat bukti elektronik (statute approach). Selanjutnya, dilakukan identifikasi norma (sebagai proposisi) yang notabene adalah rangkaian konsep, sehingga harus dilakukan kajian atas konsep-konsep yang berkaitan dengan alat bukti elektronik (conceptual approach) (Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005: 42-43). Peraturan perundang-undangan yang mengatur alat bukti elektronik adalah Pasal 5 junctis Pasal 1 angka 1, angka 4, angka 5 UU ITE, sebagai berikut:

Pasal 5 UU ITE:

  1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
  2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
  3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 1 angka 5 UU ITE: “Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik".

Berdasarkan rangkaian pasal tersebut di atas, terbaca bahwa alat bukti elektronik (terdiri atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya) yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Sebaliknya, sebagai a-contrario/mafhum mukhalafah, apabila Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya tersebut tidak dihasilkan melalui Sistem Elektronik, maka alat bukti tersebut tidak dapat secara otomatis dinilai sebagai alat bukti elektronik yang sah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait