Ketiga, masalah pidana mati sebagaimana diatur dalam Pasal 67, 99, 100 dan 101 draf RKUHP. Aliansi menilai pidana mati semestinya dihapus sesuai dengan perkembangan hukum pidan di dunia. Ada 2/3 negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati. Keinginan pembentuk UU menghendaki pengaturan pidana mati dengan “jalan tengah” berupa pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati.
Tapi, penundaan semestinya menjadi hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati, tidak boleh bergantung pada putusan hakim. Terlebih, dalam penjelasan disyaratkan hakim mesti memperhatikan “reaksi masyarakat”. Selain itu, konsep pidana mati sebagai pidana alternatif tidak konsisten. Sebab, rumusan pemerintah mengalami kemunduran dimana masa tunggu pidana menjadi digantungkan pada putusan hakim yang rentan disalahgunakan.
“Masa tunggu eksekusi pidana mati dalam Pasal 101 dihitung sejak grasi ditolak, seharusnya sejak putusan berkekuatan hukum tetap,” kritiknya.
Keempat, minimnya alternatif pemidanaan non pemenjaraan. Menurutnya, pidana alternatif dalam RKUHP amat minim, hanya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Semestinya, pidana alternatif tidak memuat syarat yang menyulitkan. Seperti pidana pengawasan dan pidana kerja sosial hanya untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 5 tahun.
“Seharusnya dikembalikan konsepnya sesuai ketentuan pidana bersyarat dalam Pasal 14 a-f KUHP saat ini, dimana pidana alternatif tersebut berlaku bagi semua tindak pidana selama hakim memutus di bawah 1 tahun, yang mana di Belanda menjelaskan pelaksanaan pidana pengawasan tersebut dengan jelas dalam KUHP-nya,” ujarnya.
Kelima, pengaturan makar dalam Pasal 167 RKUHP. Bagi Aliansi, definisi makar tidak sesuai denga asal kata makar yakni aanslag yang artinya serangan. Tapi RKUHP, malah cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Keenam, tindak pidana menghalang-halangi proses peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 RKUHP (contempt of court). Menurutnya, perbuatan yang dilarang dalam huruf a dirumuskan secara tidak jelas dan tidak ketat yang rentan disalahgunakan oleh penegak hukum. Selain itu, dalam praktiknya penegak hukum kerap menggunakan ketentuan obstruction of justice (pidana merintangi proses hukum) di masing-masing UU untuk “menekan” saksi menyampaikan hal-hal yang sesuai dengan keyakinan penegak hukum atas kasus yang ditangani.