Aliansi Nasional Reformasi KUHP Sampaikan 23 Isu Krusial RKUHP
Utama

Aliansi Nasional Reformasi KUHP Sampaikan 23 Isu Krusial RKUHP

Mulai living law, harmonisasi delik, hingga perlunya penekanan RKUHP sebagai kodifikasi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 9 Menit

Begitu pula dengan pengaturan unsur “mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses peradilan” seharusnya sebagai tujuan bukan sebagai cara. Rumusan unsur tersebut sebagai cara tidak jelas. Bagi Aliansi, Pasal 221 KUHP yang sedianya menjadi asal-muasal ketentuan sudah merumuskan ketentuan obstruction of justice secara ketat.

Ketujuh, pengaturan tindak pidana penghinaan dalam Pasal 439-448 RKUHP. Masalahnya masih memuat ancaman pidana penjara sebagai hukuman. Bila masih diatur, setidaknya pidana yang dapat diterapkan semestinya berupa denda. Selain itu, rumusan pasal masih bermasalah seperti halnya dengan KUHP. Seharusnya pengaturannya memuat pengecualian yang lebih beragam. 

“Seperti pengecualian untuk penghinaan harusnya ditambahkan, dikecualikan untuk kepentingan umum, karena terpaksa membela diri serta tidak ada kerugian yang nyata,” kata Isnur.

Muncul pasal kolonial

Isnur yang juga menjabat Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu berpendapat, dalam draf RKUHP ternyata Tim Perumus menghidupkan ulang pasal-pasal kolonial yang sudah tidak relevan bagi masyarakat Indonesia yang demokratis. Kedelapan, pasal penghinaan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 218-220 RKUHP.

Pasal tersebut dasarnya norma tentang lese mejeste yang dimaksudkan untuk melindungi Ratu Belanda sebagai pasal warisan kolonial. Selain pasal tersebut sudah dibatalkan melalui Putusan MK No.013-022/PUUIV/2006, menghidupkan kembali pasal tersebut sama halnya pembangkangan terhadap konstitusi atau constitutional disobedience.

Kesembilan, pasal penghinaan pemerintah yang sah diatur dalam Pasal 240-241 RKUHP. Pengaturan norma tersebut dalam KUHP sedianya telah dibatalkan melalui putusan MK No. 6/PUUV/2007. Ketentuan pidana pasal tersebut dikenal sebagai haatzaai artikelen yakni pasal-pasal yang melarang orang mengemukakan rasa kebencian dan perasaan tidak senang terhadap penguasa (pejabat pemerintahan).

“Pasal ini diberlakukan terhadap bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda. Pasal ini merupakan pasal kolonial yang tidak sesuai lagi dengan negara demokratis yang merdeka,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait