Altruist Lawyers Sepakat, Penerapan Putusan MK No. 23/2021 Harus Tegas dan Terbatas
Terbaru

Altruist Lawyers Sepakat, Penerapan Putusan MK No. 23/2021 Harus Tegas dan Terbatas

Penerbitan Putusan MK No. 23/2021 membawa sejumlah perubahan dalam mekanisme kepailitan dan PKPU, salah satunya: terbukanya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU.

Oleh:
Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 9 Menit
Altruist Lawyers. Foto: istimewa.
Altruist Lawyers. Foto: istimewa.

Pada 15 Desember 2021, Majelis Hakim Konstitusi telah menerbitkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 23/PUU-XIX/2021 (Putusan MK No. 23/2021). Didasarkan pada tujuan menjaga dan mengembalikan muruah UU K-PKPU sebagai upaya restrukturisasi utang, penerbitan putusan ini membawa sejumlah perubahan dalam mekanisme kepailitan dan PKPU, salah satunya: terbukanya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU.

 

Sebelum adanya pengujian materiel terhadap ketentuan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU K-PKPU, tidak ada upaya hukum apa pun yang terbuka terhadap putusan PKPU. Namun, berdasarkan Putusan MK No. 23/2021, pengaturan tersebut dinyatakan sebagai ‘inkonstitusional’ dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dengan: ‘diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor’.

 

Kendati situasi ini menandakan terbukanya upaya hukum kasasi pasca-dikeluarkannya Putusan MK No. 23/2021, perlu dicatat, upaya hukum kasasi ini berlaku secara terbatas. Artinya, sesuai dengan Putusan MK No. 23/2021, upaya hukum kasasi dimaksudkan hanya terhadap permohonan PKPU yang diajukan dan tawaran perdamaiannya ditolak oleh kreditur. Selain itu, demi menjamin ruh UU K-PKPU khususnya dalam hal peradilan cepat (speedy trial), upaya hukum yang terbuka ini hanya terbatas pada upaya hukum biasa, yakni kasasi.

 

Partner Altruist Lawyers, Bosni Gondo Wibowo, S.H., LL.M. menyambut baik keputusan Majelis Hakim Konstitusi. Berdasarkan latar belakang penjatuhan Putusan MK No. 23/2021, ia menilai bahwa terbukanya upaya hukum kasasi terhadap Putusan PKPU juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada pihak debitur. Ia lantas mengingatkan, dalam praktiknya, intensi tersebut dapat saja disalahgunakan berbagai pihak dan kalangan. “Dalam perkara ini, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi melihat adanya pelanggaran hak konstitusional yang diderita atau setidaknya berpotensi akan diderita oleh pihak debitur, dalam hal tidak terbukanya upaya hukum terhadap permohonan PKPU yang diajukan terhadapnya,” kata Bosni.

 

Selanjutnya, Bosni mengacu pada perkara PT Sarana Yeoman Sembada sebagai Pemohon Uji Materiel yang merupakan Termohon PKPU dalam empat perkara PKPU dengan kesamaan pada pokok materi. Permasalahan timbul karena terdapat pertentangan antara tiga perkara sebelumnya; dengan perkara terakhir yang diajukan oleh para kreditur sebagaimana telah diputus oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Medan pada 15 Desember 2020. Majelis Hakim Konstitusi menilai, terdapat pelanggaran hak konstitusional atas diberlakukannya pengaturan tidak adanya upaya hukum terhadap Putusan PKPU. Sebagaimana dikutip dalam pertimbangannya bahwa:

 

 

… Permohon a quo menguraikan pertentangan pasal-pasal yang diuji tidak hanya dengan ketidakadilan namun juga ketidakpastian dan diskriminasi upaya hukum yang juga merupakan nilai atas asas yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

 

Putusan No. 42/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Medan tanggal 15 Desember 2020.

 

Pun itu sebabnya, Bosni berpendapat, bukan suatu larangan bagi debitur mengajukan upaya kasasi atas Putusan PKPU yang diajukan terhadapnya. Namun, terdapat hal-hal yang harus dipertimbangkan ketika seorang debitur mengajukan upaya hukum kasasi, di antaranya ia harus: (a) memastikan tawaran perdamaiannya ditolak oleh para kreditor; (b) permohonan PKPU diajukan terhadapnya oleh para kreditor; (c) dapat membuktikan adanya kesalahan penerapan hukum oleh pengadilan tingkat pertama dan/atau alasan lainnya yang menjadi dasar dalam mengajukan kasasi sebagaimana secara umum diatur dalam Pasal 30 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung,” Bosni menambahkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: