Ambiguitas Kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
Kolom

Ambiguitas Kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

Khususnya berkaitan dengan UU Praktik Kedokteran. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan melalui aturan hukum yang jelas dan jernih.

Bacaan 6 Menit
Ambiguitas Kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
Hukumonline

Prof. Dr. Jan Michiel Otto, seorang Guru Besar dari Universiteit Leiden, dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa, “Kepastian hukum menyediakan aturan hukum yang jelas serta jernih, konsisten serta mudah diperoleh atau diakses.” Intinya, aturan hukum tersebut harus memiliki tiga sifat yaitu jelas, konsisten dan mudah diperoleh.”

Salah satu pertimbangan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi. Hal ini secara tegas dinyatakan di dalam huruf d Bagian Menimbang UU Praktik Kedokteran.

Namun, dalam kenyataannya, ada pengaturan di dalam UU Praktik Kedokteran yang menciptakan ambiguitas dalam implementasinya. Pengaturan tersebut adalah terkait dengan kewenangan dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Ambiguitas tersebut, salah satunya terdapat di dalam Pasal 66 UU Praktik Kedokteran.

Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran menyatakan bahwa, “Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI.” Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran menyatakan bahwa, “Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, tetapi tidak mampu mengadukan secara tertulis, dapat mengadukan secara lisan kepada MKDKI.”

Baca juga:

Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran menyatakan bahwa, “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan. Penjelasan Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran menyatakan bahwa, Yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang yang secara langsung mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Termasuk juga dalam pengertian “orang” adalah korporasi (badan) yang dirugikan kepentingannya.

Apabila dibaca secara harfiah, makna yang terkandung di dalam ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait