Amendemen UUD 1945 Tak Pernah Bahas Ambang Batas Pencalonan Presiden
Terbaru

Amendemen UUD 1945 Tak Pernah Bahas Ambang Batas Pencalonan Presiden

Pengaturan ambang batas pencalonan capres-cawapres mengacu perolehan jumlah kursi di DPR atau suara sah pada pemilu sebelumnya dinilai tidak tepat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua Baleg DPR dan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, Zain Badjeber. Foto: Ady
Mantan Ketua Baleg DPR dan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, Zain Badjeber. Foto: Ady

Amendemen UUD RI Tahun 1945 telah dilakukan sebanyak 4 kali pada periode 1999-2002. Ada banyak hal yang diubah dalam proses amandemen itu, salah satunya soal pemilu calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).

Mantan Ketua Baleg DPR dan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang ikut mengurusi amendemen UUD RI Tahun 1945, Zain Badjeber, mengatakan tahun 1999 MPR membentuk beberapa Panitia Ad Hoc. Salah satunya Panitia Ad Hoc III bertugas membahas perubahan UUD RI Tahun 1945.

Perintah melakukan perubahan UUD RI Tahun 1945 itu, menurut Zain dilakukan MPR dengan menerbitkan TAP MPR setiap tahun. Misalnya Tap MPR No.9 Tahun 2000 tentang Penugasan Badan Pekerja MPR RI untuk Mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD RI tahun 1945.

TAP MPR itu juga memuat rancangan perubahan UUD yang harus dilanjutkan untuk dibahas. “Mengenai pemilu Presiden dilakukan pada amendemen ketiga tahun 2001,” kata Zain dalam diskusi secara daring bertema “Muslihat Ambang Batas Pencalonan Presiden?”, Senin (07/2/2022).

(Baca Juga: Ambang Batas Pencalonan Presiden Dinilai Tak Dikenal dalam Sistem Presidensial)  

Pembahasan pemilu capres-cawapres dalam amendemen itu dimulai Desember tahun 2000. Tim Ad Hoc membentuk tim ahli yang terdiri sekitar 30 orang beranggotakan antara lain Prof Jimly Asshiddiqie, Prof Ismail Suny dan Dr Satya Arinanto yang kala itu belum mendapat gelar Profesor.

Zain mengingat selama pembahasan itu tidak pernah menyinggung soal ambang batas pencalonan capres-cawapres. Pasal 6A UUD RI Tahun 1945 mengatur pasangan calon capres-cawapres diusulkan partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.

“Jadi artinya boleh ada banyak parpol, tapi yang ikut dalam pemilu adalah parpol peserta pemilu. Jadi kalau mau memperberat syarat itu bukan pada ambang batas pencalonan capres-cawapres, tapi syarat menjadi peserta pemilu,” ujar Zain.

Pengaturan ambang batas pencalonan capres-cawapres dengan mengacu perolehan kursi di DPR 20 persen atau 25 persen suara sah pada pemilu sebelumnya menurut Zain tidak tepat. Sebab, tidak ada jaminan apakah parpol yang bersangkutan bisa meraih 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah pada pemilu berikutnya.

Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, mengusulkan agar dilakukan audit terhadap parpol, khususnya mengenai keterwakilan. Jadi persoalan juga berapa banyak anggota DPR/MPR saat ini yang paham sejarah amendemen konstitusi terutama terkait pemilu capres-cawapres.

Menurut Haris, audit perlu dilakukan untuk memeriksa pelaksanaan tugas partisipasi atau keterwakilan yang dilakukan parpol. Misalnya, bagaimana parpol merepresentasikan kelompok rentan, difabel, dan masyarakat hukum adat. “Audit perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana parpol menjalankan tugas moral terkait partisipasi warga,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait