Amnesti untuk Nuril
Kolom

Amnesti untuk Nuril

​​​​​​​Amnesti semata-mata diberikan untuk mencegah terjadinya eksekusi terhadap innocent people seperti Nuril akibat kekhilafan proses hukum.

Bacaan 2 Menit
Korneles Materay. Foto: Istimewa
Korneles Materay. Foto: Istimewa

Mahkamah Agung kembali menggagalkan Baiq Nuril memperoleh keadilan materiil (materiële waarheid) setelah menolak Peninjauan Kembali (PK) dari korban pelecehan seksual ini. Secara peluang, di satu sisi, Nuril telah gagal menempuh seluruh mekanisme hukum mulai dari tingkat pertama, kasasi hingga PK. Dengan kata lain, ia kalah baik upaya hukum biasa hingga upaya hukum luar biasa. Berarti peluang mencari keadilan dari pengadilan hasilnya nihil. Di sisi lain, ternyata masih ada satu-satunya peluang tersisa baginya, tidak dari pengadilan atau lembaga kehakiman melainkan dari presiden melalui pemberian amnesti.

 

Secara umum amnesti diartikan sebagai pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemidanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana (Marwan & Jimly, 2009). KBBI mendefinisikan amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu.

 

Wewenang Presiden

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, amnesti merupakan wewenang Presiden Republik Indonesia. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi menyatakan “Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang termaksud dalam pasal 1 dan 2 dihapuskan” (vide. Pasal 1 dan Pasal 4).

 

Dari ketentuan di atas, menurut hemat penulis, terdapat 4 hal yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, amnesti diberikan oleh presiden. Dalam hal ini amnesti merupakan hak prerogatif atau hak istimewa presiden. Ia satu-satunya pemberi amnesti. Maka, pelaksanaanya sepenuhnya tergantung kehendak presiden di luar kekuasaan lembaga atau badan lain. Amnesti adalah hak presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 14 ayat (2) UUD sendiri yang berada dalam kelompok pasal terkait wewenang presiden dalam kedudukan sebagai kepala negara.

 

Kedua, hak prerogatif presiden dalam hal ini tidak bersifat absolut karena memperhatikan pertimbangan DPR. Salah satu ciri, absolutisme biasanya ditandai dengan tidak tersentuh campur tangan kekuasaan lain. Adanya ketentuan ini tidak terlepas dari sejarah panjang kekuasaan presiden yang besar menurut UUD awal yang menganut sistem executive heavy. Executive heavy yaitu konsep kekuasaan dalam negara paling dominan di tangan presiden.

 

Hal ini bisa dilihat dari banyaknya pengaturan hak-hak presiden dalam UUD tersebut. UUD pra amandemen kita memang didesain dengan karakter yang hampir seluruh kekuasaan dalam negara ada campur tangan presiden. Pasca Amandemen UUD, kekuasaan itu dibatasi melalui intervensi pertimbangan DPR. Sehingga ketika presiden hendak memberikan amnesti kepada baik orang atau kelompok yang berbuat tindak pidana tetapi menurut presiden patut menerimanya, presiden kiranya masih perlu menampung saran dari DPR. Namun karena bersifat pertimbangan, menurut hemat penulis, konstitusi tidak mewajibkan presiden terikat atas pertimbangan DPR tersebut.

 

Pertimbangan DPR dalam hal ini, dapat dipandang sebagai konsekuensi logis penerapan prinsip check and balances. Berkenaan dengan itu, sepertinya reformasi institusi hukum dan pemerintahan modern sulit untuk membentuk otoritarianisme hukum. Oleh karena, reformasi hukum dan pemerintahan tersebut umumnya mendasarkan diri pada teori distribution of power (pembagian kekuasaan). Distribution of power adalah pengembangan dari konsep separation of power (pemisahan kekuasaan secara mutlak) yang kemudian memungkinkan kekuasaan di bagi-bagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak terpisahkan. Konsekuensinya adalah ada kerjasama antar lembaga-lembaga tak terbendung. Tentunya untuk menghindari terjadi kesewenang-wenangan dari satu lembaga tertentu. Termasuk lembaga kepresidenan.

Tags:

Berita Terkait