Amnesty International: Usut Tuntas Kasus Pembunuhan dan Mutilasi Terhadap 4 Warga Mimika
Terbaru

Amnesty International: Usut Tuntas Kasus Pembunuhan dan Mutilasi Terhadap 4 Warga Mimika

Proses investigasi harus dilakukan secara menyeluruh dan transparan. Sejak Februari 2018-Juli 2022 ada 61 kasus pembunuhan di luar hukum di duga melibatkan aparat keamanan dengan total 99 korban.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap 4 warga Mimika, Papua, mendapat kecaman berbagai kalangan termasuk organisasi masyarakat sipil. Diduga 6 dari 9 pelakunya merupakan anggota TNI. Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengatakan tindakan itu keji dan biadab. Pembunuhan di luar hukum terus berulang di Papua.

“Aparat penegak hukum harus melakukan investigasi yang menyeluruh, transparan dan tidak berpihak terhadap kasus ini dan memastikan bahwa semua pelaku, terlepas dari status atau posisi mereka, dibawa ke proses hukum yang adil, tanpa ancaman hukuman mati,” kata Wirya dalam keterangannya, Selasa (30/8/2022).

Anggota TNI yang terbukti terlibat dalam pembunuhan keji itu menurut Wirya harus diadili melalui pengadilan umum, bukan pengadilan militer atau sanksi internal. Aparat harus memastikan tidak ada impunitas hukum dengan memproses kasus ini secara tuntas. Banyak sekali kasus pembunuhan warga yang diduga melibatkan aparat keamanan,” tegasnya.

Baca Juga:

Amnesty International Indonesia menghitung sejak Februari 2018-Juli 2022, setidaknya ada 61 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang ditengarai melibatkan aparat keamanan dengan total 99 korban. Wirya mengingatkan pembunuhan di luar hukum oleh aparat merupakan pelanggaran hak untuk hidup, hak fundamental yang jelas dilindungi oleh hukum HAM internasional dan Konstitusi Indonesia.

Dalam hukum HAM internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorangpun yang boleh dirampas hak hidupnya. Maka kegagalan proses hukum dan keadilan atas pelaku penganiayaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.

Wirya menekankan pelanggaran kriminal terkait HAM harus ditangani melalui sistem peradilan pidana dan bukan dengan penanganan internal atau ditangani sebagai suatu tindak pelanggaran disiplin. Meski sanksi disiplin tetap bisa berlangsung pada saat proses hukum bergulir, namun sanksi tersebut tidak bisa menggantikan proses pengadilan tersangka di pengadilan sipil (pengadilan umum).

Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai penafsir otoritatif ICCPR, menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM secepatnya, secara mendalam dan efektif melalui badan-badan independen dan imparsial. Selain itu, harus menjamin terlaksananya pengadilan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi para korban.

Sedangkan, dalam kerangka hukum nasional, Wirya mencatat hak untuk hidup dilindungi pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan itu intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan tidak disiksa. Hak tersebut merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Tags:

Berita Terkait