Amnesty International Indonesia Dorong Pentingnya Mengakhiri Impunitas
Utama

Amnesty International Indonesia Dorong Pentingnya Mengakhiri Impunitas

Mengakhiri impunitas untuk mencegah agar kejahatan serupa tidak berulang; meningkatkan kepercayaan diri untuk dapat memulihkan keadilan; dan sebagai kondisi esensial bagi setiap negara untuk membangun perdamaian yang adil atau abadi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam diskusi secara daring bertema 'Memahami dan Mengurai Impunitas di Indonesia: Suatu Pengantar', Kamis (27/1/2022). Foto: ADY
Narasumber dalam diskusi secara daring bertema 'Memahami dan Mengurai Impunitas di Indonesia: Suatu Pengantar', Kamis (27/1/2022). Foto: ADY

Impunitas atau dalam KBBI daring disebut sebagai keadaan yang tidak dapat dipidana masih kerap terjadi dalam berbagai kasus, antara lain biasanya terjadi dalam peristiwa pelanggaran HAM. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dan Pengajar STH Indonesia Jentera, Usman Hamid, mengatakan secara singkat impunitas adalah kegagalan negara melakukan penuntutan kepada pelaku pelanggaran HAM yang dianggap sebagai kejahatan serius di bawah hukum internasional.

Usman menilai pelanggaran yang serius menurut hukum internasional itu meliputi 3 hal. Pertama, kejahatan di bawah hukum internasional, seperti penyiksaan dimana Indonesia telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan. Penghilangan orang secara paksa sebagaimana tercantum dalam konvensi perlindungan semua orang dari penghilangan paksa yang belum diratifikasi pemerintah. Selain itu, pembunuhan di luar hukum (unlawfull killing) dan perbudakan.

Kedua, pelanggaran yang serius dalam hukum humaniter. Ketiga, kejahatan yang secara global disepakati sebagai kejahatan yang sangat serius di bawah hukum internasional, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan agresi sebagaimana tercantum dalam Statuta Roma.

“Pemerintah pernah merencanakan dalam RANHAM untuk meratifikasi Statuta Roma, tapi dalam RANHAM yang terbit terakhir itu dikeluarkan,” kata Usman dalam diskusi secara daring bertema “Memahami dan Mengurai Impunitas di Indonesia: Suatu Pengantar, Kamis (27/1/2022).

(Baca Juga: UU Cipta Kerja Dinilai Langgengkan Praktik Oligarki dan Impunitas Korporasi)  

Usman menekankan pentingnya mengakhiri impunitas dengan memastikan diadilinya pelaku kejahatan serius dan memberi pesan jelas kepada seluruh masyarakat bahwa kejahatan seperti itu tidak bisa ditoleransi. Hal ini untuk mencegah berulangnya kejahatan serupa di masa depan sekaligus meningkatkan kepercayaan diri untuk terjaminnya pemulihan keadilan.

“Pengakhiran impunitas merupakan kondisi esensial yang diperlukan setiap negara untuk membangun perdamaian yang adil atau abadi,” kata Usman.

Usman memberikan contoh kejahatan di bawah hukum internasional yang terjadi di Indonesia, antara lain tragedi pembunuhan massal 1965-1966. Banyak ahli menilai peristiwa itu sebagai kejahatan paling gelap dalam sejarah Indonesia. Peristiwa pembunuhan massal Talang Sari, Lampung (1989) dan Tanjung Priok (1984). Penghilangan paksa aktivis 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, Wasior-Wamena, tragedi Simpang KKA dan lainnya.

“Bentuk kejahatan yang terjadi dalam peristiwa itu, antara lain pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, penyiksaan, perkosaan, dan perlakuan buruk lainnya,” jelasnya.

Dari 15 kasus pelanggaran HAM berat, Usman mencatat hanya 3 kasus yang berhasil melalui proses penyelidikan pro yustisia yang sampai ke pengadilan HAM meliputi kasus Timor-timor, Tanjung Priok, dan Abepura Papua. Dari berbagai perkara yang masuk pengadilan HAM Ad Hoc itu Usman menyimpulkan hanya prajurit yang berpangkat rendah yang dituntut dan diadili.

Tapi korban tidak pernah mendapat pemulihan, misalnya dalam kasus Tanjung Priok, pengadilan tingkat pertama memutus ada pemulihan dan kompensasi itu dihapus pada pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi. “Proses pengadilan ini walau awalnya seolah memberikan harapan, tapi ujungnya kegagalan,” ujar Usman.

Presiden Joko Widodo sejak awal kepemimpinannya berjanji mengakhiri impunitas. Antara lain dengan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara berkeadilan dan bermartabat. DIa juga berjanji merevisi peradilan militer yang selama ini berfungsi sebagai mekanisme untuk menghindari pihak yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat.

Sayangnya sampai saat ini janji tersebut belum terwujud. Bahkan pemerintah memperkuat absennya penghukuman terhadap pelaku pelanggaran berat, misalnya mengangkat Prabowo Subianto dan Wiranto sebagai Menteri. Serta memberikan jabatan strategis kepada pihak yang dulu terlibat dalam peristiwa pelanggaran HAM berat, seperti kasus Timor-Timor, dan penculikan aktivis 1997-1998. Bahkan, Jaksa Agung ST Burhanuddin sempat menyebut tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.

“Ini gambaran impunitas sebagai kenyataan politik dalam kehidupan di Indonesia. Jika kita gagal memberikan keadilan untuk korban dan gagal menghukum pelaku dalam pengadilan yang bermartabat, maka kejahatan akan terus berulang. Ini konsekuensi kalau kita tidak mengakhiri impunitas,” tegasnya.

Head of Department of the Van Vollenhoven Institute for Law, Leiden University, Adriaan Bedner, menyebut tujuan menghukum itu berbeda-beda dan itu penting untuk diperhatikan. Pergantian rezim juga penting dalam menuntaskan impunitas. Sayangnya pergantian rezim di Indonesia tidak sepenuhnya terjadi.

Alih-alih pergantian rezim, yang terjadi di Indonesia hanya pergantian sistem hukum atau amendemen konstitusi, demokrasi, dan pemilu. Tapi kelompok yang berkuasa tetap pada tampuk kekuasaannya. Kelompok elit lama dan baru saling bekerja sama serta butuh dukungan militer (oligarki).

“Kasus (penyelesaian pelanggaran HAM berat, red) di Belanda butuh waktu lebih dari 70 tahun. Kalau di Indonesia jika dihitung sejak 1965 maka peristiwa itu terjadi sekitar 50 tahun lalu, diperlukan sekitar 20 tahun lagi,” imbuh Adriaan.

Tags:

Berita Terkait