Ancaman Pidana Mati Kasus Minyak Goreng Potensi Kontraproduktif
Terbaru

Ancaman Pidana Mati Kasus Minyak Goreng Potensi Kontraproduktif

Pilihan menerapkan hukuman mati malah akan menghambat proses penegakan hukum kasus korupsi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Terpisah, Direktur Eksekutif Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berpandangan Kejaksaan Agung mewacanakan penuntutan pidana mati untuk kasus Tipikor. Wacana pidana mati kembali bakal digunakan dalam kasus korupsi ekspor sawit mentah yang disinyalir memicu kelangkaan minyak goreng di tengah pandemi.

“Namun, ICJR mengingatkan bahwa melempar wacana ini ke publik justru dapat mempersulit kinerja kejaksaan,” ujarnya.

Menurutnya, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan bagi institusi Kejaksaan. Pertama, dalam menerapkan pidana mati untuk kasus korupsi terbatas pada keadaan tertentu yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999. Antara lain hanya ketika korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional. Kemudian penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan merupakan pengulangan/residivis tipikor.

Kendati dari aspek waktu kejadian di tengah situasi pandemi, namun Kejaksaan perlu mencermati dengan lebih jeli kronologi ekspor sawit mentah yang berujung kelangkaan minyak goreng domestik masuk dalam kriteria keadaan tertentu sebagimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) UU 31/1999. Bagi ICJR, kata Erasmus, kasus minyak goreng tersebut belum memenuhi kriteria dalam Pasal 2 ayat (2) UU 31/199

“Sehingga memaksakan penggunaannya justru akan menghabiskan tenaga dan fokus dari kejaksaan sendiri,” kata dia.

Kedua, pemberantasan korupsi bakal jauh lebih efektif bila memaksimalkan langkah-langkah pencegahan melalui perbaikan sistem pemerintahan. Sedangkan penegak hukum khususnya Kejaksaan lebih baik memaksimalkan proses penegakan hukum. Seperti mengusut potensi pencucian uang, mengejar beneficial owner bukan hanya pelaku lapangan, hingga mengupayakan pemulihan/perampasan aset.

Dengan demikian, orientasinya tak hanya menghukum pelaku lapangan yang umumnya bisa tertangkap dengan seberat-beratnya hukuman seperti pidana mati, tapi memastikan seluruh pelaku yang bertanggung jawab dapat dihadapkan ke pengadilan. Serta mengejar seluruh aset pelaku yang dapat dirampas hingga menjatuhkan pidana tambahan. Seperti denda atau pembayaran uang pengganti untuk kepentingan publik/negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait