Anggaran Jumbo Pengentasan Kemiskinan Habis untuk Rapat: Masalah Klasik!
Terbaru

Anggaran Jumbo Pengentasan Kemiskinan Habis untuk Rapat: Masalah Klasik!

Pemerintah diminta jujur menyampaikan rincian atau detail informasi anggaran pengentasan kemiskinan hingga ke level rincian output dan komponen, bukan informasi kasar.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Sekretaris Jenderal FITRA, Misbah Hasan. Foto: youtube
Sekretaris Jenderal FITRA, Misbah Hasan. Foto: youtube

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai alokasi anggaran hingga Rp 500 triliun yang habis digunakan untuk rapat dan studi banding merupakan persoalan klasik yang terjadi saat ini. Penggunaan anggaran tersebut dinilai tidak berdampak langsung terhadap masalah pengentasan kemiskinan nasional.

Sekretaris Jenderal FITRA, Misbah Hasan menyampaikan MenPAN-RB seharusnya sudah paham persoalan ini karena pernah menjabat Kepala Daerah. Dia menjelaskan dalam postur APBN/APBD, Belanja Negara/Daerah dibagi menjadi tiga jenis, yakni Belanja Pegawai, Belanja Barang/Jasa atau belanja habis pakai, dan Belanja Modal. Belanja barang/jasa inilah yang digunakan untuk rapat-rapat dan studi banding dalam bentuk belanja makan/minum, perjalanan dinas, akomodasi hotel, dan lain-lain. Bila dipersentasekan, belanja pegawai dan belanja barang/jasa porsinya sangat besar di setiap K/L.

Baca Juga:

Kemudian, Misbah menjelaskan belanja barang/jasa ini tersembunyi dalam nama program atau kegiatan yang seakan-akan untuk pengentasan kemiskinan. “Berbagai nama program/kegiatan yang bagus-bagus dan seakan-akan berpihak kepada masyarakat miskin, namun ketika ditelusuri (tracking) lebih dalam hingga ke rincian ouput atau level komponen, ujung-ujungnya untuk belanja makan/minum, perjalanan dinas, akomodasi yang sebagian besar dinikmati birokrasi. Anggaran yang betul-betul menyasar kepada masyarakat miskin dan kelompok-kelompok rentan seperti perempuan miskin, perempuan kepala keluarga miskin dan penyandang disabilitas, lansia anak yang terlantar, dan seterusnya sangat minim,” ungkap Misbah, Senin (30/1).

Lebih lanjut, dia mengungkapkan akurasi data penduduk miskin atau keluarga miskin merupakan salah satu problem mendasar yang menyebabkan gagalnya pelaksanaan program pengentasan kemiskinan di Indonesia. Sehingga, sering setiap K/L memiliki data masing-masing, sehingga data antar K/L tidak sama bahkan sampai ke tingkat Pemda dan Pemdes. Contoh kasus adalah belum selesainya sinkronisasi DTKS dengan data Regsosek.

“Strategi pengentasan kemiskinan kurang efektif. Hal ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang merilis data kemiskinan Indonesia pada Sebtember 2022 sebanyak 26,36 juta orang. Justru naik 0,20 juta orang atau 0,03 persen point dibanding Maret 2022. Dengan jumlah penduduk miskin ekstrem mencapai 10,7 juta orang,” papar Misbah.

Manajer Riset Seknas FITRA, Badiul Hadi menyampaikan pihaknya merekomendasikan beberapa hal. Pemerintah diminta jujur menyampaikan rincian atau detail informasi anggaran pengentasan kemiskinan hingga ke level rincian output dan komponen, bukan informasi kasar. “Transparansi rincian anggaran ini penting agar masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap efektivitas penggunaan anggaran pengentasan kemiskinan,” papar Badiul.

Tags:

Berita Terkait