Anggota DPR: Pengesahan RUU KUHP Tergantung Kemauan Pemerintah
Terbaru

Anggota DPR: Pengesahan RUU KUHP Tergantung Kemauan Pemerintah

Pemerintah telah melakukan sosialisasi RUU KUHP ke beberapa daerah melalui diskusi publik. Disinyalir pemerintah bakal mendorong RUU masuk Prolegnas Prioritas 2021.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemerintah dan DPR hampir mengesahkan RUU KUHP pada September 2019 lalu. Tapi karena ada demonstrasi besar yang menolak pengesahan RUU KUHP dan RUU lain, akhirnya Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pengesahan untuk meredam gejolak di masyarakat. Begitu penjelasan anggota Komisi III DPR, Mulfachri Harahap, dalam diskusi publik bertema “RUU Hukum Pidana” yang digelar secara daring dan luring di Jakarta, Senin (14/6/2021).

Mulfachri menjelaskan pembahasan RUU KUHP sudah sampai DIM terakhir dan pada pengambilan keputusan tingkat I diputuskan RUU dibawa ke paripurna untuk disahkan. Rencananya pengesahan akan dilakukan 28-30 September 2019. Pada 23 September Presiden Jokowi mengundang Mulfachri dan beberapa anggota DPR lainnya untuk membicarakan soal pengesahan RUU KUHP. Pada intinya Presiden Jokowi meminta pengesahan RUU ditunda.

Mengingat masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir, Mulfachri mengatakan ketika itu ada kekhawatiran jika RUU KUHP tidak segera disahkan, maka akan dibahas dari awal oleh DPR periode 2019-2024. Padahal, DPR periode 2014-2019 sudah membahas RUU KUHP itu selama 4 tahun. Untuk mengatasi persoalan itu pada rapat paripurna 24 September 2019 disepakati untuk merevisi UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Alhasil disisipkan Pasal 71A dalam UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. “Ketentuan itu memungkinkan pembahasan RUU KUHP dilakukan DPR periode berikutnya, sehingga pembahasan tidak dimulai lagi dari awal, ini dinamakan carry over,” kata Mulfachri. (Baca Juga: Pemerintah Berharap Pengesahan RUU KUHP Sebagai Resultante Demokratis)

Mulfachri melanjutkan yang perlu dibenahi hanya pasal yang menuai kontroversi di masyarakat. Pada saat pembahasan RUU KUHP oleh DPR periode sebelumnya, Mulfachri mengingat sudah banyak pihak yang diundang untuk didengar pendapatnya. Pembahasan juga dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Kendati demikian, dia mengakui RUU ini belum sempurna, tapi ada mekanisme yang dapat digunakan ketika RUU KUHP sudah disahkan, misalnya melalui uji materi ke MK.

Menurut Mulfachri, penyelesaian RUU ini sangat terkait dengan kemauan pemerintah. Dia memberi contoh ketika RUU Cipta Kerja mendapat penolakan dari masyarakat dan terjadi demonstrasi besar di berbagai tempat, tapi pemerintah tetap terus mendorong RUU Cipta Kerja untuk disahkan. “Massa yang menolak omnibus law (RUU Cipta Kerja, red) lebih besar daripada yang menolak RUU KUHP, tapi pemerintah bisa mendorong pengesahan UU Cipta Kerja,” katanya.

Ketua Umum Mahupiki, Yenti Ganarsih, menjelaskan KUHP bermula dari Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie (WvS) Stb No.732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918. Kemudian terbit UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan tahun 1958 terbit UU No.73 Tahun 1958 tentang pemberlakuan WvS sebagai Peraturan Hukum Pidana Nasional.

Tags:

Berita Terkait