Anggota DPR Minta Agar Permendikbudristek 30/2021 Dibatalkan
Terbaru

Anggota DPR Minta Agar Permendikbudristek 30/2021 Dibatalkan

Karena tidak mencantumkan landasan hukum; tidak memasukkan unsur agama; hingga mengandung unsur liberalisme, sehingga dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menjadi sorotan. Beleid yang ditandatangani Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim pada 31 Agustus 2021 ini menimbulkan kontra, khususnya soal landasan hukum terbitnya peraturan tersebut.

“Kita mempertanyakan dasar hukum yang menjadi landasan dikeluarkannya kebijakan tersebut,” ujar anggota Komisi X DPR, Ledia Hanifa Amaliah melalui keterangan tertulis kepada wartawan di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (3/11/2021).

Dia mengingatkan terbitnya sebuah peraturan yang menjadi aturan turunan harus mengacu UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Seperti amanat Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011 menyebutkan, “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.

“Berdasarkan norma Pasal 8 ayat (2) tersebut, terbitnya Permendikbudristek 30/2021 tidak tepat karena UU yang menjadi cantolan hukumnya belum ada,” kata Ledia.  

Tak hanya itu, Ledia menyesalkan beberapa materi muatan dalam Permendikbudristek 30/2021 yang melenceng jauh dari nilai-nilai Pancasila terutama sila pertama. Landasan norma agama yang seharusnya menjadi prinsip pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang termuat di Pasal 3 tidak dimasukan. Padahal Pancasila, menjadi dasar negara yang setiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan cara manusia Indonesia bersikap dan mengambil keputusan.

Dia melihat beleid ini cenderung mengandung nilai/unsur liberalisme dalam pengambilan sikap. Alhasil pendefinisian kekerasan seksual menjadi bias. Contohnya, ketika memasukkan salah satu jenis kekerasan seksual pada “penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender”.

Tak hanya itu, Permendikbudristek 30/2021 memasukkan kata “persetujuan” atau yang biasa dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang digunakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) Permendikbudristek itu. Menurutnya, dalam Pasal 5 ayat (2) mengatur beberapa tindakan atau perilaku masuk dalam tindakan kekerasan seksual bila tanpa “persetujuan” dari korban.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait