Anggota DPR Usul Dibuat UU JPSK
Berita

Anggota DPR Usul Dibuat UU JPSK

OJK menilai inisiatif RUU JPSK akan dilakukan pemerintah sebagai protokol penanganan krisis.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Misbakhun. Foto: Sgp
Misbakhun. Foto: Sgp
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, M Misbakhun, mengusulkan agar dewan dan pemerintah segera membentuk UU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Ia mengatakan, RUU ini bertujuan untuk membangun sebuah protokol dalam penanganan krisis di Indonesia.

Menurut Anggota Komisi XI ini, protokol krisis penting jika berkaitan dengan kejadian yang pernah menimpa Indonesia, yakni pemberian bailout Bank Century (sekarang Bank Mutiara). Bailout tersebut menyisakan perbedaan interpretasi antara dewan dan pemerintah sehingga berujung ke arah pidana.

“Mari susun UU JPSK, ini akan jadi pintu masuk kita. Bangsa ini tidak boleh dikenakan keadaan-keadaan yang membelenggu,” kata Misbakhun saat rapat kerja dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Komplek Parlemen di Jakarta, Senin (24/11).

Sayangnya, Misbakhun tidak merincikan protokol seperti apa yang bisa diterapkan dalam RUU. Namun ia berharap, pembahasan antara dewan dan pemerintah bisa mengerucut mekanisme protokol penanganan krisis yang bisa dilakukan. “Kejadian bailout dan interpretasi yang berbeda antara DPR dan pemerintah itu karena tidak ada protokol krisis,” katanya.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad menyambut baik usulan ini. Menurutnya, RUU JPSK sudah masuk sebagai rancangan yang akan menjadi inisiatif pemerintah. Ia sepakat, tujuan pembentukan UU JPSK sebagai dasar dalam keperluan protokol krisis.

“RUU JPSK, sudah on the pipe line, sudah bicara dengan pemerintah, akan diinisiasikan oleh pemerintah untuk keperluan protokol krisis,” kata Muliaman.

Perlunya RUU JPSK juga pernah diungkapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kepala Eksekutif LPS Kartika Wijoatmodjo menilai, keberadaan RUU JPSK menjadi kunci jawaban untuk meredam kekhawatiran para pengambil kebijakan dalam penanganan bank gagal berdampak sistemik. Setidaknya, terdapat tiga substansi besar yang bisa masuk dalam RUU tersebut. Misalnya, pihak yang bisa menentukan krisis.

Selama ini, kata Kartika, belum ada pihak yang memiliki wewenang dalam menentukan krisis. Sehingga, antisipasi dari pemangku kepentingan masih bisa diperdebatkan dasar hukumnya jika terjadi krisis. “Siapa yang menentukan krisis itu, apakah pemerintah atau persetujuan DPR, itu harus jelas,” katanya.

Substansi kedua, lanjut Kartika, mengenai parameter krisis. Parameter ini harus jelas, sehingga ke depannya penetapan krisis bisa ditindaklanjuti dengan keputusan yang tepat. Sedangkan substansi lain yang penting terkait kebijakan dalam pemberian dana bailout kepada bank gagal.

Penjualan Mutiara
Di saat yang sama, Misbakhun juga menyinggung mengenai penjualan Bank Mutiara kepada investor dari Jepang. J Trust Co., Ltd. Menurutnya, ada beberapa  persoalan yang mengiringi penjualan tersebut. Salah satunya terdapat keterkaitan antara J Trust dengan pemegang Bank Mutiara yang dahulu. “Informasi yang saya terima seperti itu, mohon dijelaskan,” katanya.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon menegaskan, meski ada keterkaitan dengan pemilik saham yang lama, tapi J Trust tetap memiliki eligibilitas sebagai calon investor setelah dilaksanakan fit and proper test. Terlebih lagi, OJK juga melakukan serangkaian penggalian informasi mengenai J Trust sebelum fit and proper test dilaksanakan.

Menurut Nelson, kepemilikan JP Morgan dan Nomura Asset Management dalam J Trust tidak signifikan. Atas dasar itu, keberadaan JP Morgan dan Nomura Asset Management dinilai tak akan bisa mengendalikan Bank Mutiara.

“Tidak ada kepemilikan yang sifatnya signifikan, tidak akan mungkin punya pengaruh kendali,” tutup Nelson.
Tags:

Berita Terkait