Anomali Putusan MK Tentang Pemilu Serentak?
Kolom

Anomali Putusan MK Tentang Pemilu Serentak?

Terdapat masalah putusan MK ini terhadap sinkronisasi putusan MK sebelumnya.

Bacaan 2 Menit
  1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
  2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
  4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
  5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
  6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

 

Dari ayat (2) jelas bahwa konstitusi mengatur tentang pelaksanaan pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Sehingga putusan MK di atas tentu janggal. Lalu, terkait dengan pilihan alternatif model pemilihan serentak yang disediakan oleh MK kepada pembuat UU, dalam hal ini adalah DPR, hanya pada poin pertama yang sesuai dengan UUD. Selebihnya bermasalah. Terhadap apa? Terhadap UUD tentunya. Karena pemilihan gubernur, bupati dan walikota jelas-jelas bukan bagian dari bab tentang pemilu sesuai Pasal 22E UUD 1945.

 

Pada poin kedua, bahwa terdapat masalah putusan MK ini terhadap sinkronisasi putusan MK sebelumnya. Pertama, MK pernah memutus untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial harus dilaksanakan pemilu serentak pilpres dan pileg (DPR, DPD dan DPRD), putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Putusan itu atas permohonan Effendi Gazali terkait uji materi UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam UU ini, pada pemilu dilaksanakan dua tahap, pileg dan pilpres. Pencalonan pilpres oleh partai dan gabungan partai berdasarkan hasil pileg.

 

Dasar pertimbangan MK dari putusan ini adalah, Pertama, Pilpres yang diselenggarakan secara serentak dengan Pileg akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat.

 

Kedua, hak warga negara untuk memilih, mempertimbangkan sendiri hak pilihnya untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang berasal dari partai yang sama dengan capres/cawapres. Hanya dengan pemilu serentak warga negara dapat menggunakan haknya secara cerdas dan efisien. Sehingga pelaksanaan Pilpres dan Pileg yang tidak serentak, tidak sejalan dengan prinsip konstitusi yang menghendaki adanya efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan hak warga negara untuk memilih secara cerdas.

 

Ketiga, dalam penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 yang dilakukan setelah pileg, ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden, calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.

 

Tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensil. Artinya, pada putusan MK (sebelumnya) ini, MK secara institusional telah memutuskan pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait