Antara Perbaikan Draf dan Lemahnya Legitimasi UU Cipta Kerja
Utama

Antara Perbaikan Draf dan Lemahnya Legitimasi UU Cipta Kerja

Perbaikan draf UU Cipta Kerja setelah proses persetujuan DPR menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses pembentukan UU Cipta Kerja.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES

Sehari sebelum persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja menjadi UU, beredar draf di masyarakat, bahkan terdapat beberapa versi draf. Sebagian masyarakat draf RUU Cipta Kerja yang beredar itu menjadi rujukan yang belum tentu kebenarannya.  Peristiwa ini mengulang saat RUU Cipta Kerja kali pertama disampaikan ke DPR pada Februari 2020 lalu.

Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang DPR, Inosentius Samsul mengatakan perbaikan RUU Cipta Kerja sedang dilakukan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Tak hanya Baleg, tim perancang, tenaga ahli Baleg, dan tim tenaga ahli pemerintah dilibatkan dalam perbaikan UU Cipta Kerja ini. Perbaikan draf UU Cipta Kerja seputar salah ketik atau typo dan menggunakan bahasa yang standar. “Dengan ahli bahasa,” ujar Inosentius melalui pesan tertulis kepada Hukumonline, Jumat (9/10/2020). (Baca Juga: Viral di Medsos, Baleg DPR: UU Cipta Kerja Masih Dirapikan)  

Setelah disetujuinya RUU Cipta Kerja menjadi UU, pria yang biasa disapa Ino ini lebih banyak beraktvitas di ruang Baleg dalam rangka memperbaiki dan mengoreksi typo dan redaksional setiap rumusan norma draf UU Cipta Kerja. Menurutnya, sesuai aturan Peraturan DPR, typo dan redaksional norma dapat diperbaiki setelah rapat paripurna.

Merujuk Pasal 77 ayat (6) Peraturan DPR No.2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang menyebutkan, “Dalam hal keputusan rapat paripurna menyatakan persetujuan dengan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan penyempurnaan rumusan rancangan undang-undang”. Sedangkan Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, “Dalam hal materi muatan rancangan undang-undang termasuk dalam ruang lingkup lebih dari dua komisi, penyempurnaan ditugaskan kepada Badan Legislasi atau panitia khusus.”

Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Muhammad Nur Sholikin menilai rapat paripurna semestinya menjadi tahap akhir dalam proses pembahasan RUU di DPR. Karena itu, RUU yang telah disahkan menjadi UU semestinya telah selesai baik substansi maupun teknis redaksional. Bila masih dibutuhkan perbaikan substansi ataupun redaksional, seharusnya dilakukan saat rapat paripurna dan disetujui pula penyempurnaanya oleh anggota dewan yang hadir. “Meski perbaikann hanya terkait redaksional atau pengetikan,” ujarnya.

Menurutnya, keluhan dokumen RUU Cipta Kerja yang tersebar setelah rapat paripurna bukan draf akhir bentuk tidak akuntabelnya proses pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU. Justru, kata dia, dalih ada perbaikan redaksional setelah pengesahan menunjukkan proses pengesahan terburu-buru dan tidak bertanggung jawab (akuntabel). “Pengesahan dilakukan secara terbuka dan segala informasi maupun dokumen seharusnya bisa diakses oleh masyarakat,” kata Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini.  

Peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius menilai publik kecewa berat dengan sikap pemerintah dan DPR yang terburu-buru mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU. Ironisnya, ada anggota DPR tak menerima draf RUU Cipta Kerja saat persetujuan menjadi UU saat rapat paripurna, Senin (5/10) lalu. “Lalu dari mana sikap setuju atas RUU itu muncul jika drafnya saja masih dalam proses finalisasi?”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait