Apa Bedanya Panggil Paksa, Jemput Paksa, dan Penangkapan? Ini Penjelasan Hukumnya
Berita

Apa Bedanya Panggil Paksa, Jemput Paksa, dan Penangkapan? Ini Penjelasan Hukumnya

Panggil Paksa dan Jemput Paksa bukanlah istilah yang dikenal di dalam KUHAP. Keduanya pun tak berpengaruh pada masa hukuman, berbeda dengan penangkapan dan penahanan.

Oleh:
Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi foto: BAS
Ilustrasi foto: BAS

Sebelum diketahui mengalami kecelakaan, Ketua DPR yang juga tersangka kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto, empat kali mangkir dari panggilan penyidik KPK. Pada pekan lalu, petugas KPK pun mendadak menyambangi kediaman Setya Novanto di Jakarta Selatan. Setya Novanto menghilang saat akan dipanggil paksa. Sementara itu, banyak media mewartakan bahwa KPK telah menjemput paksa Setya Novanto, meskipun hasilnya nihil. Keesokan harinya, KPK pun mengeluarkan surat penangkapan Setya Novanto.

 

Lantas, apakah perbedaan antara panggil paksa, jemput paksa dengan penangkapan? Berikut penjelasan hukumnya.

 

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak ditemukan istilah jemput paksa maupun panggil paksa. Yang ada, hanyalah istilah “dihadirkan dengan paksa”. Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, menjelaskan panggil paksa dapat dilakukan dalam tahap penyidikan maupun proses persidangan.  Selain itu, keduanya juga berbeda dengan penahanan. Panggil paksa dan jemput paksa hanya bisa dilakukan setelah pemanggilan yang sah dilakukan dua kali. Sementara itu, penangkapan bisa dilakukan tanpa didahului dengan pemanggilan.

 

“Kalau panggil paksa dan jemput paksa harus ada pemanggilan yang sah dulu. Jika sudah dua kali dipanggil secara sah tidak datang juga, barulah dijemput paksa. Kalau penangkapan tidak perlu pemanggilan,” kata Huda kepada hukumonline, Senin (20/11).

 

Panggil paksa dalam proses penyidikan dapat dilakukan terhadap tersangka maupun saksi. Hal ini diatur di dalam Pasal 112 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya”.

 

Sementara itu, Pasal 17 KUHAP mengatur bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pengertian mengenai bukti permulaan yang cukup ini bisa merujuk pada Pasal 183 KUHAP yang mengikat hakim “tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya".

 

Penangkapan tersebut, menurut Pasal 19 ayat (1) KUHAP dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Oleh karena itu, menurut Huda, penyidik hanya memiliki waktu 1x24 jam untuk menentukan langkah berikutnya setelah tersangka ditahan. Ia menyebut, penyidik bisa membebaskan tersangka atau menahannya. Dalam kasus Setya Novanto misalnya, setelah mengeluarkan Surat Penangkapan, keesokannya dikeluarkan Surat Penahanan.

Tags:

Berita Terkait