Apindo Minta Pemerintah Lakukan Moratorium PKPU dan Kepailitan
Utama

Apindo Minta Pemerintah Lakukan Moratorium PKPU dan Kepailitan

Pemerintah mengaku saat ini tengah melakukan kajian terkait hal tersebut.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit

Merespons hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartanto mengamini kenaikan kasus PKPU dan palit selama pandemi Covid-19. Berdasarkan catatan dari Kementerian Perkonomian (Kemenko), jika diakumula peningkatan kasus pailit dan PKPU hingga saat ini sudah mencapai angka 480 kasus di seluruh Pengadilan Niaga yang tersebar di Indonesia.

Dalam hal ini, Airlangga mengakui jika pemerintah melihat adanya moral hazard dalam proses pengajuan PKPU dan palit di masa pandemi. Mudahnya persyaratan yang diatur dalam UU Kepailitan untuk mengajukan permohonan PKPU dan pailit menjadi salah satu sebab meningkatkan kasus PKPU dan pailit saat pandemi.

“Terkait kepalitan dan PKPU memang pemerintah sudah melihat ada peningkatan kasus, tercatat sudah 480 kasus yang diajukan pailit dan PKPU di seluruh pengadilan niaga, dan kita melihat adanya moral hazard dengan permohonan PKPU dan pailit karena persyaratan yang mudah,” kata Airlangga pada acara yang sama.

Terkait masukan untuk melakukan moratorium PKPU dan pailit, Airlangga mengaku saat ini pemerintah sudah melakukan pembahasan dan mengkaji kemungkinan tersebut. Pemerintah berupaya untuk mencegah tejadinya moral hazard. Apalagi langkah hukum lewat penyelesaian PKPU dan pailit menjadi bagian dari penilaian EODB yang saat ini tengah difokuskan oleh pemerintah.

“Pemerintah melihat melihat plus minus, kalau moratoriaum ada badlock pasca pandemi dan sekarang sudah berproses. Pemerintah ingin mencegah moral hazard, ini harus dilakukn. Dan proses restructuring saat ini merupakan hasil dari krisis moneter di tahun 1998 lalu dimana banyak usaha dilakukan PKPU dan palit masal. Ini juga bagian dari EODB, dan pemenirtah sedang mengkaji terkait hal tersebut. Karena PKPU dan pailit ini bukan hanya debitur yang bisa memanfaatkan, tapi kreditur juga sebagai bagian dari coorporate action,” jelas Airlangga.

Airlangga juga mengatakan aturan restrukturisasi kredit usaha tidak bisa langsung diperpanjang tiga tahun karena pandemi Covid-19 diperkirakan dapat tertangani dalam satu tahun ke depan. Perkiraan tersebut didasarkan pada asumsi varian Covid-19 yang baru tidak lagi muncul. Pasalnya, dengan kemunculan Covid-19 varian delta, berbagai negara mengalami gelombang kedua dan ketiga kasus Covid-19 meski mulai kembali pulih.

“Kalau kita lihat pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2021, hampir sebagian besar negara sudah recover, jadi untuk perpanjangan tiga tahun ini kelihatannya tidak memungkinkan,” kata Airlangga.

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.48 Tahun 2020, pemerintah memperpanjang restrukturisasi kredit usaha sampai 31 Maret 2022 dari sebelumnya hanya sampai 31 Maret 2021. Menurut Airlangga, restrukturisasi kredit usaha hanya diperpanjang satu tahun dengan pertimbangan pandemi Covid-19 sudah tertangani dalam setahun ke depan.

Saat ini, pemerintah pun telah meminta OJK memperpanjang restrukturisasi kredit sampai 31 Maret 2023 mendatang. Ia mengatakan kredit usaha yang berorientasi ekspor akan diprioritaskan untuk bisa direstrukturisasi. “Apabila orientasinya ekspor tentu akan diberi prioritas, dan pemerintah sudah memberi jaminan kepada perbankan untuk melakukan restrukturisasi kredit,” kata Airlangga.

Tags:

Berita Terkait