Asas Legalitas Dikesampingkan oleh Living Law dalam RKUHP
Kolom

Asas Legalitas Dikesampingkan oleh Living Law dalam RKUHP

Apakah penerapan The Living Law akan membawa hukum pidana Indonesia lebih baik?

Mohammad Maulana Kusumawardhana. Foto: Koleksi Penulis
Mohammad Maulana Kusumawardhana. Foto: Koleksi Penulis

 
Dalam buku R. Soesilo, "KUHP serta Komentar-komentarnya" disebutkan bahwa komentar dari Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari perbuatan itu.”
 
Menurut R. Soesilo Pasal 1 ayat (1) ini merupakan perundang-undangan hukum pidana modern yang menurut hukum bahwa ketentuan hukum pidana harus ditetapkan dalam Undang-Undang yang sah. Yang berarti bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk menghukum orang. Selanjutnya, menurutnya juga bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana dalam undang-undang itu diadakan, yang berarti bahwa undang-undang tidak mungkin berlaku surut (mundur) sebagaimana asas Nulum Delictum Sine Praevia Lega Poenali.
 
Jadi menurut pandangan penulis dari rujukan komentar R. Soesilo mengenai Asas Legalitas, adalah suatu hukum modern yang mengatur dengan tegas tujuan dari penegakan hukum positif bukan secara rasa/perasaan atau intervensi yang hukumnya tidak positif yang dalam menerapkan hukum, berdasarkan pandangan logika perbuatan yang sudah diatur dasar hukumnya saja dijadikan alat untuk adanya rekayasa kasus apalagi yang tidak diatur dalam undang-undang, dikhawatirkan The Living Law akan menjadi celah ancaman dalam penegakan hukum positif.
 
Dalam buku R. Soesilo, penjelasan Pasal 1 KUHP menyebutkan bahwa asal-usul asas legalitas adalah pada waktu perang dunia kedua telah banyak terjadi perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan negara, sedangkan perbuatan-perbuatan itu tidak diatur dalam KUHP. Atas dasar itulah, pembuat undang-undang sebagai pengecualian telah meninggalkan azas perundang-undangan yang sekali telah diikutinya itu dengan mengadakan aturan-aturan pidana terhadap perbuatan-perbuatan yang merugikan negara yang telah dilakukan itu, yang merupakan peristiwa-peristiwa pidana yang biasa disebut “Kejahatan-kejahatan perang” yang bagi Hindia Belanda dulu ditentukan dalam Staatsblad 1945 No. 135.
 
Jadi dalam pandangan penulis penerapan The Living Law akan membuat Asas Legalitas menjadi nomor dua dan kembali menjadikan KUHP bukanlah dari permodern hukum. Padahal telah banyak aturan-aturan  pidana yang mengatur bahwa mengenai pelanggaran hukum adat, cukuplah sanksi moral dalam masyarakat sekitar yang memberikannya hukuman. Karena adat tidak bisa diatur secara kolektif di negara seperti Indonesia yang memiliki beribu-beribu adat.

Kata “Nullum Delictum Nula Poena Sine Praevia Lege berasal dari Von Feurbach, Sarjana Hukum Pidana Jerman (1775-1833) dialah yang merumuskannnya dalam pepatah latin itu dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht (1801).
 
Perumusan Asas Legalitas dari Von Feurbach dalam bahasa latin itu dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “Vom Psychologischen Zwang” yaitu menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan yang harus dituliskan dengan jelas. Sementara itu, tentang jenis pidana yang diancamkan terkait The Living Law diatur dalam Pasal 774 ayat (2) RKUHP yang menyatakan bahwa ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai perbuatan yang salah diancam dengan pidana tambahan pemenuhan kewajiban dan adat setempat atau kewajiban menurut hukum tersebut sebanding dengan pidana kategori I sekitar enam juta rupiah. Selain itu, Pasal 774 ayat (2) RKUHP menyatakan bahwa dalam putusan hakim dapat menetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 101 RKUHP.
 
Dengan memperhatikan Pasal 774 ayat (2), maka berarti penerapan The Living Law disesuaikan dengan cara adat itu sendiri dan masyarakat itu sendiri tanpa dicampuri oleh hukum positif  tanpa harus melalui proses litigasi. Kondisi ini akan mengubah cara hukum adat yang berlaku di masyarakat adat itu sendiri jika hukum adat diintervensi oleh hukum positif mengenai akan hukumannya.
 
Bagaimanakah Penerapan unsur-unsur pelanggaran The Living Law?
Dalam praktiknya nanti jika dilihat dari bunyi Pasal 2 ayat 1, RKUHP akan sulit diterapkan karena dibutuhkan penegak hukum yang paham akan hukum adat, dan juga bagaimana akan pembuatan dakwaan jika tidak ada unsur-unsur yang mengatur.
 
Van Hattum (Hal. 119 dan seterusnya) menulis bahwa menurut perkataan dalam Memorie Van Tpelichting (MVT) tidak ada keragu-raguan, bahwa maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan kualifikasi disamping penentuan unsur-unsur, adalah sekadar untuk menggambarkan penyebutan perbuatan yang dilarang saja.
 
Jadi jika penerapan The Living Law dalam dakwaan akan berujung dengan suatu keputusan hakim batal demi Hukum (Null and Void), untuk apa diterapkan dalam penyidikannya atau diatur deliknya. Akan banyak yang melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi, dikarenakan aturan ini juga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia dalah Negara Hukum, dan juga Pasal 28 D UUD 1945 tentang kepastian Hukum.
 
Sepatutnya penerapan dari Pasal 2 ayat (1) RKUHP junto. Pasal 774  ayat (2) RKUHP ini didiskusikan lebih lanjut oleh para ahli hukum baik secara, filosofis, sosiologis, antropologi dan juga bagaimana jika adanya penerapan secara empiris dari analisa para ahli, apakah penerapan The Living Law akan membawa hukum pidana Indonesia lebih baik? Hal ini yang dapt menyimpulkan adalah para ahli hukum.
 
Semoga setelah 51 Tahun RKUHP dibahas membawa suatu hal lebih baik lagi bagi penegakan hukum pidana Indonesia
 
*Advokat Magang pada Kantor Hukum H. Rusli Bastari 
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah dimulai sejak tahun 1964. Dalam pembahasan RKUHP yang dilakukan bukanlah sekadar mengubah teks, redaksi, dan Pasal-Pasal dari Wetboek Van Strafrecht (KUHP peninggalan Belanda)  tapi juga  mengubah ide dasar pokok pemikirannya.
 
Dasar dan pokok pemikiran dari RKUHP yang akan disorot dalam tulisan ini salah satunya adalah mengenai hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat (The Living Law) yang dianggap sebagian para ahli hukum pidana sesuai dengan nilai-nilai sosiofilsofis, sosiopolitik, dan sosiokultural, terutama dalam pandangan Antropologi Hukum yang ada dalam Hukum Adat Indonesia, dan ada juga para sebagian ahli hukum yang memandang jika hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat itu akan bertolak belakang dengan Asas Legalitas .
 
Dalam seminar Nasional “Menyikapi Pembahasan RKUHP” yang digelar oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi bekerja sama dengan FH UNPAD Bandung, mantan Hakim Agung, Prof. Komariah E. Sapardjaja berpendapat bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP bertolak belakang dengan Pasal 1 ayat (1) RKUHP, sebab dasar pemikiran Pasal 1 ayat (1) RKUHP adalah undang-undang sedangkan Pasal 2 ayat (1) RKHUP justru pemikiran dasarnya adalah hukum tidak tertulis, menurut beliau ini berbenturan dengan Asas Legalitas, implementasi tindak pidana yang berlandaskan kepada the Living Law lebih ditujukan kepada Hakim untuk mengaturnya dari hukum tertulis.(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56d8059ec6ae0/Pasal-iliving-law-i-di-rkuhp-berpotensi-disalahgunakan-aparat-penegak-hukum);
 
Sekadar untuk diketahui, Pasal 2 ayat (1) RKUHP berbunyi:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut diatur dalam Perundang-undangan.”
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait