Aspek yang Perlu Dipahami Melihat Perkara Kepailitan Media Raksasa Amerika
Terbaru

Aspek yang Perlu Dipahami Melihat Perkara Kepailitan Media Raksasa Amerika

Tapi putusan pailit dari pengadilan negara lain kemungkinan besar sulit diakui atau dilaksanakan oleh pengadilan niaga di Indonesia.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Perusahaan penyiaran digital media jaringan internasional asal Amerika,  VICE Media LLC mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan Amerika Serikat karena mengalami permasalahan keuangan. Walhasil, VICE mengalami kegagalan pembayaran utang pada Senin (15/5) waktu New York. VICE Media LLC  masuk dalam 31 perseroan terbatas yang wajib membayar utang sebesar AS$474,6 juta atau setara Rp7,06 triliun kepada Fortress, perusahaan investasi global.

VICE menggunakan UU Kepailitan Amerika Serikat Bab 11 atau Chapter 11 dalam permohonan pailit yang dimohonkan. Dengan menerapkan UU tersebut, Vice dapat tetap beroperasi selama proses lelang berlangsung untuk menyelesaikan pembayaran utang. Fortress Investment Group dan Soros Fund Management sebagai investor bersepakat menjadi kreditur yang akan menutupi semua aset senilai AS$225 di bawah pengawasan pengadilan New York.

Melihat kasus tersebut, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Kurator dan Kepengurusan Indonesia (AKPI) Rafles Nien Siregar berpandangan, secara umum terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan dalam sudut pandang perkara kepailitan. Pertama, aspek keberlangsungan operasional debitor atau VICE Media selama proses kepailitan berlangsung.

Dia menjelaskan dengan jaminan keberlangsungan tersebut dapat memaksimalkan pengembalian bagi para kreditor. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah prinsing on going concern,di mana debitor dijamin untuk tetap bisa menjalankan usahanya. “Prinsip ini dapat memaksimalkan recovery bagi para kreditor,” ujar Rafles melalui sambungan telepon kepada Hukumonline, Senin (29/5/2023).

Baca juga:

Kedua, kepastian hubungan kerja para karyawan khususnya yang berada di cabang Indonesia. Rafles menjelaskan perusahaan harus mengutamakan penyelesaian kewajiban kepada karyawan dalam penyelesaian utang tersebut. Ketiga, permasalahan kepailitan lintas batas atau cross border insolvency.

Namun demikian, Rafles yang notabene Managing Partner Kantor Hukum Siregar Setiawan Manalu Partnership (SSMP) itu mengakui terdapat persoalan terhadap putusan pengadilan negara lain untuk dapat diterapkan di Indonesia. Sebab boleh jadi terdapat perbedaan aturan terkait kepailitan satu negara dengan lainnya.

“Putusan pailit dari pengadilan negara lain kemungkinan besar sulit diakui atau dilaksanakan oleh pengadilan niaga di Indonesia,” jelas Rafles.

Tags:

Berita Terkait