Astrid Abina Sihombing: Menjadi In House Counsel Tak Hanya Urus Litigasi dan Complain
Women In Law Stories

Astrid Abina Sihombing: Menjadi In House Counsel Tak Hanya Urus Litigasi dan Complain

In House counsel dituntut mampu menjadi partner bisnis dan memastikan corporate action dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
SVP, Legal of Head PT Visionet Internasional atau OVO, Astrid Abina Sihombing. Foto: RES
SVP, Legal of Head PT Visionet Internasional atau OVO, Astrid Abina Sihombing. Foto: RES

Selain menjadi advokat, profesi sebagai in house counsel kini mulai dilirik oleh sarjana hukum. Hal ini sejalan dengan munculnya kesadaran perusahaan terkait pentingnya peranan in house counsel dalam membantu perusahaan untuk menjalankan bisnisnya.

Hal tersebut disampaikan oleh SVP, Legal of Head PT Visionet Internasional atau OVO Astrid Abina Sihombing. Dia mengatakan bahwa menjadi in house counsel tidak hanya sekedar mengurusi persoalan kasus yang menimpa perusahaan, tetapi in house counsel sekaligus berperan sebagai partner bisnis untuk memberikan kontribusi bagi perusahaan.

“Sekarang ini profesi in house counsel nggak jauh bergengsi dengan yang bekerja di law firm. Karena sekarang banyak perusahaan yang memahami dan mengerti bahwa in house counsel penting karena tidak hanya sekedar kerja kalau ada kasus, tapi benar-benar jadi partner bisnis, dan memastikan corporate action sesuai dengan aturan yang berlaku. Kita benar-benar diajak kolaborasi dari awal dan ketika hasil sudah di close kita bisa ngerasain ‘wah ini hasil kerja bersama’,” katanya dalam sesi wawancara bersama Hukumonline beberapa waktu lalu.

Baca Juga:

Meski demikian, Astrid mengaku bahwa profesi in house counsel bukanlah pekerjaan yang ingin dia tekuni. Sejak menyelesaikan studi sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dia memilih karir sebagai advokat. Namun ketertarikan Astrid atas dunia internet dan datangnya tawaran pekerjaan dari salah satu perusahaan yang bergerak di bidang internet membuat dirinya mengambil kesempatan menjadi in house counsel yang masih dia tekuni hingga saat ini.

Salah satu pertimbangan lain yang membuat Astrid mengambil profesi in house counsel adalah manajemen waktu. Salah satu tantangan bagi wanita karir adalah membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Saat menerima tawaran menjadi in house counsel, Astrid mengaku dirinya dihadapkan pada persoalan manajemen waktu. Dengan jam kerja yang jelas, in house counsel menjadi jalan keluar atas persoalan tersebut.

Melihat profesi in house counsel yang kian menjanjikan, Astrid menilai sarjana hukum atau mahasiswa fakultas hukum harus memasukkan daftar profesi ini ke dalam catatan karir mereka. Setidaknya minat tersebut harus ditunjukkan sejak duduk di bangku mahasiswa dengan cara mencari informasi magang partnership di sektor in house counsel di perusahaan-perusahaan.

“Biasanya perusahaan buka magang internship, mungkin teman-teman mahasiswa bisa cari informasi dan ketika ada kesempatan untuk magang coba apply karena itu pasti kesempatan berharga untuk bisa tahu dan merasakan apa sih yang dikerjakan oleh tim in house counsel di sebuah perusahaan,” jelasnya.

Selain itu untuk sarjana hukum, Astrid mengingatkan untuk tidak memilih-milih pekerjaan karena status prestisius. Yang terpenting adalah terjun langsung ke lapangan dan tidak menjadi ‘kutu loncat’ agar ilmu-ilmu terkait bisnis proses dapat diserap dengan baik. Dan menguasai ilmu-ilmu hukum bisnis terkait corporate law, hukum ketenagakerjaan atau menguasai Hak Kekayaan Intelektual.

“Kalau di law firm itu ‘kan biasanya spesialisasi ya. Nah di in house counsel itu kita handling semua mulai dari tenaga kerja, litigasi, komplain dan kalau boleh dibilang learning by doing tapi harus diperkuat corporate law, hukum tenaga kerja itu butuh tiap perusahaan. Dan kalau paham HAKI itu bisa jadi nilai plus,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait