ATR/BPN Telusuri Dugaan Kasus Mafia Tanah di Desa Suka Mukti
Terbaru

ATR/BPN Telusuri Dugaan Kasus Mafia Tanah di Desa Suka Mukti

Kementerian ATR/BPN masih melakukan penelitian lebih dalam apakah kasus ini terkait mafia tanah. Komnas HAM mendesak aparat kepolisian bersikap netral, dan para pihak menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan di lahan sengketa.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Narasumber diskusi secara daring bertajuk 'Studi Kasus Sengketa Lahan Mesuji: Praktik Nyata Mafia Tanah Oleh Pejabat Negara,' Kamis (9/12/2021). Foto: ADY
Narasumber diskusi secara daring bertajuk 'Studi Kasus Sengketa Lahan Mesuji: Praktik Nyata Mafia Tanah Oleh Pejabat Negara,' Kamis (9/12/2021). Foto: ADY

Konflik dan sengketa agraria atau pertanahan banyak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Data pengaduan Komnas HAM per November 2021 menunjukan isu agraria termasuk yang paling banyak diadukan masyarakat ke Komnas HAM yakni 516 kasus. Dari berbagai kasus agraria yang ditangani Komnas HAM, salah satunya dialami warga Desa Suka Mukti, Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Pendamping Hukum Warga Desa Suka Mukti, Pius Situmorang mengatakan masyarakat yang bersengketa ini merupakan transmigran dari tahun 1980-an. Para transmigran itu mendapat tanah sebanyak 2 hektar per kepala keluarga (KK). Kemudian sekitar tahun 1985 ada lahan cadangan untuk anak transmigran. Tapi PT TMM mengklaim mengantongi HGU di atas tanah transmigran itu. HGU itu menjadi dasar Kanwil ATR/BPN Sumatera Selatan untuk membatalkan SHM 36 KK transmigran yang sebelumnya diterbitkan tahun 2020. Padahal, pihak Kementerian Kehutanan sudah menyatakan di atas tanah tersebut tidak ada perizinan apapun (atas HGU yang diklaim PT TMM).  

Pius mengatakan sampai saat ini warga tidak pernah mengetahui HGU yang diklaim perusahaan. Bahkan, Pius mencatat nomor HGU-nya sering berubah-ubah, sehingga mengaburkan berapa nomor HGU itu sebenarnya. “Kami menduga ada permainan oknum dan mafia tanah yang lihai melakukan hal sedemikian rupa,” ungkap Pius dalam diskusi secara daring yang diselenggarakan PBHI bertajuk “Studi Kasus Sengketa Lahan Mesuji: Praktik Nyata Mafia Tanah Oleh Pejabat Negara,” Kamis (9/12/2021). (Baca Juga: Mengenali Modus ‘Permainan’ Mafia Tanah)   

Sekjen PBHI, Julius Ibrani, melihat ada tumpang tindih dokumen pertanahan yakni antara HGU dan SHM pada bidang tanah yang sama. Ke depan harus ada perbaikan sistem di BPN. “Ada forum mediasi dan klarifikasi di internal ATR/BPN untuk menangani sengketa pertanahan. Mekanisme ini penting karena mengedepankan kepentingan para pihak dan fakta,” ujarnya.

Direktur Penanganan Sengketa Kementerian ATR/BPN, Firdaus, mengatakan kasus ini terkait pembatalan 36 SHM warga yang didaftarkan tahun 2020. Setelah SHM itu terbit ternyata tumpang tindih dengan HGU PT TMM. Karena itu, Kanwil ATR/BPN Sumatera Selatan melakukan pembatalan administratif terhadap 36 SHM. Menurutnya, kasus ini harus diteliti lebih lanjut khususnya oleh Kanwil ATR/BPN Sumatera Selatan.

“Kami akan melakukan semacam pendalaman internal untuk melihat dokumen-dokumen terkait dan warkah penerbitan hak atas itu baik HGU dan SHM,” kata dia.

Sekretaris Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN, Budi Suryanto, mengatakan HGU PT TMM terbit tahun 1997 dan SHM milik masyarakat tahun 2020. Untuk itu, perlu dilihat lebih rinci bagaimana dan kapan penguasaan fisiknya apakah sejak warga sudah menempati lahan sejak 1983 sebagaimana program transmigrasi yang disebutkan. Kemudian apakah perusahaan sudah mengikuti prosedur untuk mendapatkan HGU itu, misalnya selain izin prinsip dan lokasi juga harus dilakukan pembebasan lahan.

Tags:

Berita Terkait