Perlu diingat, kata Luhut, bahwa pengadilan di Indonesia tidak ada kewajiban untuk didampingi oleh advokat, baik di kepolisian maupun ke pengadilan. Jadi menurut Luhut, jika untuk mengantarkan agar yang berwajib melakukan tugasnya, maka hal itu sah-sah saja dilakukan oleh paralegal.
“Dulu saat saya di YLBHI itu bahkan ada kriminolog, aktivis juga ada, tapi bukan berarti paralegal tersebut melakukan tugas persis seperti pekerjaan yang dilakukan oleh advokat,” kata Luhut.
Antisipasi Potensi Perbedaan Kode Etik Paralegal
Problem lain yang menarik dalam aturan Permenkumham No. 1 Tahun 2018 terdapat pada ketentuan Pasal 15 yang mewajibkan kepada masing-masing pemberi bantuan hukum (PBH) untuk membuat kode etik pelayanan Bantuan Hukum Paralegal. Kode etik tersebut kemudian dilaporkan kepada BPHN.
(Baca Juga: Inilah Poin-Poin Kontrak Bantuan Hukum 2015)
Banyaknya PBH tentu mengakibatkan tingginya potensi perbedaan standar kode etik paralegal yang dibentuk oleh masing-masing PBH tersebut. Saat ditanya soal antisipasi perbedaan kode etik tersebut, Kepala Pusat Bantuan dan Pelayanan Hukum BPHN, C Kristomo, menjelaskan bahwa masing-masing PBH mempunyai visinya masing-masing.
Pasal 15
|
Namun, John Izaac justru menyayangkan jika tugas pembentukan kode etik tersebut diserahkan kepada masing-masing PBH secara terpisah. Menurutnya, mekanisme pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dalam suatu profesi dipertaruhkan dalam pembentukan suatu kode etik.
“Karena ini adalah turunan dari Undang-Undang Bantuan Hukum, seharusnya kemenkumham memanggil perwakilan LBH untuk kemudian menyusun kode etik yang sama untuk paralegal,” tandasnya.