Baca:
- Menanti Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat di Parlemen
- Begini Proses Pengakuan Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat
Selain itu, Anggara mengatakan jika kewenangan untuk memberikan penetapan terhadap perkara-perkara delik adat nantinya diberikan kepada Pengadilan Negeri, maka beban penanganan perkara hakim akan semakin meningkat.
Padahal, ia menjelaskan berdasarkan Laporan Tahunan MA 2017 saja pada tingkat pertama, jumlah hakim peradilan umum yang tersedia adalah sebesar 3.040, dengan jumlah perkara 4.877.659 perkara pidana. Sehingga, rata-rata beban penanganan perkara pidana untuk setiap hakim adalah 4.813 perkara. Dapat dipastikan, dengan adanya ketentuan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat, beban perkara pidana yang harus ditangani oleh Pengadilan akan terus meningkat.
Selain itu, Anggara mengatakan, RKUHP membuka peluang polisi dan jaksa mencampuri masalah adat. RKUHP pada dasarnya memasukkan pengaturan yang tidak jelas mengenai pidana yang hidup dalam masyarakat. Pasal 679 ayat (1) RKUHP menyebutkan bahwa “setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dicancam dengan pidana.”
“Meskipun pidana yang dimaksud berupa pemenuhan kewajiban adat, masuknya delik yang tidak memiliki pengaturan jelas perbuatan apa saja yang dilarang ini berarti membuka peluang aparat penegak hukum seperti Polisi dan Jaksa turut serta mencampuri masalah adat,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, pengakuan terhadap hukum adat masih menjadi masalah sendiri dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sehingga, pengaturannya tidak bisa sesederhana menyerahkan seluruh pengaturan ke masing-masing daerah. Persoalan pidana adat harus diatur sengan peraturan sendiri.
Oleh sebab itu, Ia meminta agar DPR dan Pemerintah, untuk menghapus ketentuan terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau setidak-tidaknya mengubah rumusan Pasal 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum adat dalam masyarakat adat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.