Aturan Kolektif Kolegial KPK Dinyatakan Konstitusional
Berita

Aturan Kolektif Kolegial KPK Dinyatakan Konstitusional

Pemohon menilai putusan ini hanya untuk menyenangkan KPK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Aturan Kolektif Kolegial KPK Dinyatakan Konstitusional
Hukumonline

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak uji materi Pasal 21 ayat (5) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan Farhat Abbas (advokat) dan Narliz Wandi Piliang (jurnalis independen). Ketentuan itu yang mengatur kewenangan kolektif kolegial KPK dalam memutuskan sesuatu itu dianggap tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 49/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Kamis (14/11).

Sebelumnya, Farhat dan Narliz mempersoalkan kewenangan kolektif kolegial KPK yang diatur Pasal 21 ayat (5) UU KPK. Menurutnya, pengambilan keputusan yang mensyaratkan secara kolektif oleh Pimpinan KPK mengakibatkan proses yang cukup lama dan tidak memberikan kepastian hukum. Ketentuan itu dinilai menghambat kreativitas dan inovasi Ketua KPK untuk mengambil keputusan dan mempercepat upaya pemberantasan korupsi.

Seperti yang terjadi dalam kasus proyek Hambalang yang melibatkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Sesuai keterangan Wiwin Suwandi dari lima pimpinan KPK terdapat satu pimpinan (Busyro Muqoddas) yang belum sepakat meningkatkan kasus itu ke tingkat penyidikan. Karenanya, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 21 ayat (5) UU KPK itu karena bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah menegaskan kewenangan KPK bersifat khusus yang tidak dimiliki lembaga lain yang berwenang memberantas  korupsi. Seperti, mengkoordinasi dan mensupervisi instansi lain dalam pemberantasan korupsi, KPK dapat mengambil alih penanganan korupsi yang sedang dilakukan instansi lain agar lebih efektif, dan wewenang penyadapan.

“Posisi KPK ini menjadi sangat penting dan strategis  yang menunjukan ada kewenangan khusus dan luar biasa melakukan pemberantasan korupsi. Kewenangan besar itu harus diimbangi dengan kehatian-hatian sehingga tidak disalahgunakan,” tutur Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan hukumnya.         

Atas dasar itu, Mahkamah menilai cukup beralasan UU KPK yang menentukan pimpinan KPK mengambil keputusan secara kolektif kolegial. Hal ini, lanjut Arief, menghindari kekeliruan atau kesalahan dalam mengambil tindakan luar biasa dan agar KPK bertindak ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan hukum terkait pemberantasan korupsi.

Tags: