Aturan Pelaksana Pajak Digital Terbit, Ini Kriteria PMSE yang Dikenai Pajak
Utama

Aturan Pelaksana Pajak Digital Terbit, Ini Kriteria PMSE yang Dikenai Pajak

PMSE pemungut pajak digital ditunjuk oleh DJP berdasarkan kriteria besaran jumlah transaksi dan traffic pengakses.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

Pelaku usaha yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN wajib mulai melakukan pemungutan PPN pada bulan berikutnya setelah keputusan penunjukan diterbitkan. Jumlah PPN yang dipungut adalah sebesar 10 persen, namun pemungutan PPN tidak berlaku terhadap barang atau jasa yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dikecualikan atau dibebaskan dari pengenaan PPN.

Pengusaha kena pajak yang melakukan pembelian barang dan jasa digital untuk kegiatan usaha dapat melakukan pengkreditan pajak masukan sepanjang bukti pungut PPN memenuhi syarat sebagai dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak yaitu mencantumkan nama dan NPWP pembeli, atau alamat email yang terdaftar pada sistem Direktorat Jenderal Pajak.

Sebelumnya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti menekankan pentingnya penguatan regulasi perlindungan konsumen bila ke depannya kebijakan pajak digital diterapkan. "Perlindungan diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan konsumen dalam bertransaksi dan merupakan instrumen penting untuk pemerintah siapkan sebelum mengimplementasi pajak digital," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (19/6).

Untuk itu, ujar dia, pemerintah perlu merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena UU yang belum memasukkan ekosistem ekonomi digital di dalamnya.

Padahal, lanjutnya, kegiatan ekonomi digital yang melibatkan penyedia jasa dan layanan serta konsumen juga membutuhkan adanya payung hukum terkait perlindungan konsumen.

Ia berpendapat bahwa meski Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik telah dilegalisasi untuk memberikan perlindungan konsumen digital, contohnya aturan terkait iklan digital, peraturan tersebut belum bisa menjamah jasa digital yang berbeda karakteristiknya dengan penjualan barang secara daring.

"Baik Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) maupun PP Nomor 80 Tahun 2019 belum memisahkan barang dan jasa, padahal mereka memiliki karakteristik yang berbeda. UUPK bahkan belum mencakup transaksi online sama sekali. Contohnya terkait kontrak digital, yang merupakan instrumen penting perlindungan konsumen," jelas Ira.

Selain UU Perlindungan Konsumen, Ira juga menemukan bahwa regulasi saat ini belum mampu menjamin adanya lingkungan digital yang aman bagi konsumen, seperti pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU Siber) masih belum mengalami kemajuan signifikan.

Ia mengingatkan bahwa konsumen membayar pajak pada pemerintah, yang artinya pemerintah harus pastikan perlindungan konsumen pada transaksi tersebut. Pajak menjadi kontrak konsumen dengan pemerintah secara tidak langsung bahwa pemerintah akan memberikan pelayanan publik jika terjadi satu hal dan yang lainnya.

"Jangan sampai, konsumen membayar pajak tetapi masih khawatir datanya disalahgunakan, atau merasa tidak aman melakukan transaksi. Pada hal ini, yang dirugikan bukan hanya konsumen tetapi juga pemerintah karena tidak dapat mengembangkan ekonomi digital," ujarnya.

Ira menegaskan pemerintah harus pastikan besaran pajak yang proporsional sehingga tidak menghambat kemajuan ekonomi digital di Indonesia, serta harus dipastikan juga dampak atas pajak ini adalah kepada pelayanan publik yang lebih baik.

Tags:

Berita Terkait