Aturan Pelaksana Pembangunan Kilang Minyak Perlu Rinci Bentuk Pembiayaan
Utama

Aturan Pelaksana Pembangunan Kilang Minyak Perlu Rinci Bentuk Pembiayaan

Untuk memberikan kepastian hukum bagi kreditur.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Acara workshop hukumonline mengenai aspek hukum dan pembiayaan pembangunan kilang minyak di Indonesia di Jakarta, Selasa (22/3). Foto: Project
Acara workshop hukumonline mengenai aspek hukum dan pembiayaan pembangunan kilang minyak di Indonesia di Jakarta, Selasa (22/3). Foto: Project
Mulai 22 Desember 2015, pembangunan kilang minyak di Indonesia dapat dilakukan melalui mekanisme kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri. Sementara itu, PT Pertamina (Persero) ditunjuk oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK).

Menurut Pasal 13 Perpres No.146 Tahun 2015 itu, pemerintah memberikan jaminan dan dukungan untuk skema KPBU. Jaminan diberikan atas risiko infrastruktur sesuai. Sementara itu, dukungan berupa pembebasan pajak maupun bea masuk dan insentif lainnya.

Di sisi lain, KPBU juga menyandang kewajiban untuk menyerahkan tanah serta seluruh aset kilang dan fasilitas penunjang kepada pemerintah. Penyerahan itu dilakukan di akhir masa izin operasi. Semua barang yang diserahkan punharus dalam kondisi laik operasi.

Menurut Mananging Partner Roosdiono & Partners, Leoni Silitonga, ada risiko yang timbul dari adanya ketentuan mengenai pembiayaan tersebut. Ia menjelaskan, dari sudut debitur risiko itu bisa muncul dalam bentuk kerusakan kilang minyak atau fluktuasi mata uang jika pembiayaan diterima dalam mata uang asing. Risiko lain adalah masa penyelesaian proyek pembangunan yang lewat dari jangka waktu yang dipernjanjikan dengan kontraktor. Kemudian, kewajiban pembayaran bunga/bagi hasil sebelum selesainya pembangunan kilang juga bisa menjadi masalah tersendiri.

“Namun, semua risiko itu bisa dimitigasi. Selain itu, menurut saya risiko pembiayaan lebih besar bagi kreditur ketimbang debitur,” ujar Leoni di sela-sela workshop hukumonline mengenai aspek hukum dan pembiayaan pembangunan kilang minyak di Indonesia di Jakarta, Selasa (22/3).

Leoni memaparkan, kreditur menanggung risiko yang lebih besar sebab tidak ada jaminan yang diberikan oleh debitur KPBU. Hal ini lantaran perusahaan swasta yang melaksanakan KPBU tidak memiliki aset yang bisa dijadikan jaminan. Oleh karenanya, Leoni berharap ada peraturan implementasi yang lebih rinci mengenai bentuk pembiayaan yang bisa diterima KPBU.

“Kita sedang menunggu Peraturan Menteri Keuangan terkait dengan bentuk pembiayaan yang bisa diterima oleh KPBU, karena kan baru diatur sebagai pihak yang bisa membangun kilang minyak,” ungkapnya.

Leoni menambahkan, ketentuan yang perlu dibuat detail adalah pengaturan teknis bagaimana jika perusahaan KPBU tidak bisa memenuhi kewajibannya. Ia mengatakan, telah ada ketentuan bahwa jika perusahaan mengalami hal itu karena missed-management, kreditur bisa masuk ke dalam perusahaan untuk melakukan pengolahan. Bagaimana mekanisme itu, menurutnya harus ditentukan secara eksplisit.

“Satu hal yang memang perlu dijelaskan lebih lanjut di dalam PMK adalah KPBU kan tidak punya aset, selain itu ada ketentuan bagi lembaga pembiayaan mereka menerima jaminan pemerintah berupa jaminan infrastruktur. Tetapi kan jaminan itu tidak bisa menjamin dalam keadaan perusahaan ada miss-management.  Jadi, jika perusahaan tidak bisa memenuhi kewajibannya karena hal itu, kreditur tidak memegang jaminan apa-apa. Tetapi diatur kreditur yang harus masuk ke dalam perusahaan melakukan pengolahan. Hal ini yang mungkin harus diatur lebih lanjut sehingga para kreditur mendapat kepastian hukum jika mereka tertarik memberikan pembiayaan pembangunan kilang minyak berbentuk KPBU,” tandasnya.

Selain itu, Leoni juga menambahkan bahwa pemberian kredit oleh pihak asing juga harus diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana. Sebab, ketentuan mengenai keharusan kreditu masuk ke dalam struktur perusahaan menyisakan pertanyaan bagi Leoni. Ia mengatakan, apakah hal itu membuka risiko proyek-proyek kilang akan jatuh ke tangan asing.

“Kalau kreditu masuk, nanti bagaimana jika dikaitkan dengan daftar negatif investasi BKPM. Bagaimana juga dengan jenis perseroannya, apakah harus berubah menjadi penanaman modal asing. Sebab, rata-rata perusahaan Indonesia saat ini pembiayaannya datang dari pihak asing,” tambahnya.

Leoni mengakui, dengan belum terbitnya aturan yang detail mengenai pembiayaan bagi KPBU ia pesimis ada kreditur yang mau membiayai. Sebab, tidak ada aset yang bisa dijadikan agunan. Selain itu, aset yang dikuasai perusahaan pun milik negara dan harus dikembailkan kepada pemerintah di akhir masa operasi.

“Tetapi, menurut pemerintah saat ini untuk proyek tenaga listrik dengan model seperti itu sudah dilaksanakan. Hanya saja, saya belum pernah menangani yang bentuknya KPBU,” katanya.

Dia menilai, jika ada lembaga pembiayaan yang tertarik menjadi kreditur maka terlebih dulu harus memahami karakteristik KPBU. Sebab, bentuknya yang PT tidak bisa dianggap sama seperti PT pada umumnya yang diatur di dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas, karena lebih spesifik. Dengan demikian, kreditur bisa tahu dokumen apa saja yang harus diminta saat melakukan due diligence.

Tags:

Berita Terkait