Awas, Palsukan Identitas untuk Poligami Bisa Dipidana!
Terbaru

Awas, Palsukan Identitas untuk Poligami Bisa Dipidana!

Terhadap pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh suami demi menikah lagi, dapat dikenakan sanksi pidana yang diatur dalam KUHP, UU Adminduk dan UU PDP.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Awas, Palsukan Identitas untuk Poligami Bisa Dipidana!
Hukumonline

Meski Undang-Undang dan dalam aturan agama Islam tidak melarang adanya poligami, namun pada praktiknya melakukan poligami tidaklah mudah karena diwajibkan mendapatkan izin dari pihak istri. Namun untuk melancarkan niat berpoligami, suami mungkin saja melakukan tindakan yang melanggar hukum seperti melakukan pemalsuan identitas.

Perlu diketahui bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setelah sah secara agama/kepercayaan, suatu perkawinan wajib dicatatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Perkawinan.

Adapun terkait dengan suami yang menikah lagi atau poligami, pada dasarnya dibolehkan jika sudah mendapat izin dari pengadilan. Dalam Pasal 56 ayat (1) KHI disebutkan: “Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.”

Baca Juga:

Di Indonesia, salah satu syarat agar perkawinan poligami sah menurut hukum adalah mengajukan permohonan ke pengadilan (untuk mendapatkan izin) dengan syarat mendapat persetujuan dari istri. Jika syarat perkawinan poligami tersebut tidak terpenuhi, maka perkawinan yang dilakukan suami dapat dibatalkan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU Perkawinan.

Hal ini juga ditegaskan di dalam Pasal 71 huruf a KHI bahwa seorang suami yang melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Istri selaku pihak yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut serta mengetahui adanya cacat dalam rukun serta syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan dapat mengajukan pembatalan perkawinan (Pasal 23 huruf d UU Perkawinan jo. Pasal 73 huruf d Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)).

Permohonan pembatalan perkawinan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan (Pasal 25 UU Perkawinan jo. Pasal 73 KHI).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait