“Ini semacam, akan sulit jika kita melakukan penegakan hukum untuk begitu banyak pelanggaran. Makanya kita perlu banyak mensosialisasikan ini supaya orang bisa aware ini sebenarnya dilarang. Letak masalahnya karena sudah sering dilakukan pembiaran sehingga orang berkali-kali jadi seperti itu enggak masalah karena dianggap enggak melanggar hukum, padahal sebenarnya melanggar. Jadi ini tugas kita bersama untuk saling mengingatkan,” jelasnya.
Kasubdit Pelayanan Hukum dan Lembaga Manajemen Kolektif Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, Agung Darmasasongko, mengatakan bahwa kegiatan merekam suatu pertunjukan diatur dalam Pasal 23 UU Hak Cipta. Dalam pasal itu disebutkan bahwa orang yang direkam memiliki hak untuk melarang proses rekaman tersebut. Intinya, jika ingin tetap merekam, maka harus mengantongi izin meski video itu pada akhirnya tidak bernilai ekonomi.
Jika perekaman video itu diperuntukkan demi kepentingan komersil, maka jelas si perekam melakukan pelanggaran hak cipta. Hal tersebut diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta. Selain harus meminta izin, si perekam dan pengupload video harus membayar royalti sesuai dengan aturan.
Pasal 9:
Pasal 23:
|
“Kalau sudah merekam secara diam-diam, itu bisa komplain tidak boleh ditayangkan, jadi tetap harus minta izin sebetulnya. Kalau dia sudah ada keuntungan secara komersial itu sudah harus minta izin dan membayar royalti sesuai dengan perjanjian yang berlaku,” pungkasnya.