Babak Baru, Begini Penjelasan 14 Isu Krusial RKUHP
Utama

Babak Baru, Begini Penjelasan 14 Isu Krusial RKUHP

Mulai living law sampai pasal yang mengatur kejahatan pemerkosaan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

“Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1),” ujarnya.

Ketiga, Pasal 218 terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Keempat, Pasal 252 terkait dengan tindak pidana dengan memiliki kekuatan ghaib. Menurut pria yang biasa disapa Edy itu, tindak pidana tersebut merupakan delik formil, sehingga tak perlu ada akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana itu yang dipidana apabila seseorang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan untuk menimbulkan penyakit dan lainnya.

Dia beralasan tindak pidana tersebut perlu dikriminalisasi karenan beberapa hal. Seperti, sifatnya sangat kriminogen (dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana lain) dan viktimogen (secara potensial dapat menyebabkan kerugian berbagai kepentingan). Kemudian melindungi kepentingan individual (misalnya mencegah praktik penipuan). Serta melindungi religiusitas dan ketentraman hidup beragama yang dilecehkan oleh perbuatan syirik.

Kelima, Pasal 278-279 yang mengatur tentang unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih. Pemerintah dalam penjelasannya, pasal tersebut telah diatur dalam Pasal 549 KUHP. Karenanya pemerintah mengusulkan mengubah Pasal 278 dan 279 RKUHP menjadi delik materil. Pasal ini masih diperlukan dalam melinduungi para petani yang berpotensi mengalami kerugian akibat benih atau tanamannya dirusak unggas/ternak milik orang lain.

Keenam, Pasal 281 tentang contemp of court. Keberadaan pasal tersebut diatur dalam memberikan kepastian perlindungan hukum bagi hakim dan aparatur pengadilan, hingga menjadi dasar hukum untuk menegakkan kewibawaan pengadilan. Menurutnya, pemerintah mempertahankan pasal tersebut dengan perubahan pada penjelasan Pasal 281 huruf c, sehingga berbunyi: Yang dimaksud dengan “dipublikasikan secara langsung” misalnya, live streaming, audio visual tidak diperkenankan. Sehingga tidak mengurangi kebebasan jurnalis atau wartawan untuk menulis berita dan mempublikasikannya. Yang pasti, pasal tersebut diatur demi ketertiban umum agar menghindari opini publik yang dapat mempengaruhi putusan hakim.

Ketujuh, Pasal 304 tentang penodaan agama. Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu berpandangan dengan mempertimbangkan usulan masyarakat, pemerintah mengusulkan untuk mereformulasi rumusan Pasal 304. Alhasil, terdapat 3 perbuatan yang diatur. Seperti melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; menyatakan kebencian atau permusuhan; atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia.

“Perbuatan dalam rumusan ini telah disesuaikan dengan perbuatan sebagaimana diatur dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, serta dipandang lebih jelas jika dibandingkan dengan kata ‘penodaan’ pada rumusan pasal sebelumnya,” kata dia.

Tags:

Berita Terkait