Babak Baru, Begini Penjelasan 14 Isu Krusial RKUHP
Utama

Babak Baru, Begini Penjelasan 14 Isu Krusial RKUHP

Mulai living law sampai pasal yang mengatur kejahatan pemerkosaan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi pembahasan RKUHP
Ilustrasi pembahasan RKUHP

Pemerintah dan DPR mulai membuat kesepakatan terkait nasib tindak lanjut pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP). Kedua belah pihak menyepakati melanjutkan pembahasan RKUHP agar dapat diselesaikan dan disahkan pada masa sidang V di tahun 2022. Kesepakatan diambil setelah pemerintah melakukan sosialisasi ke-12 daerah dengan melibatkan akademisi, aparat penegak hukum, dan para ahli hukum pidana.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pemerintah sudah melakukan sosialisasi berupa diskusi publik, menyempurnakan, dan mereformulasi akhirnya menghasilkan penjelasan, khususnya penjelasan sejumlah pasal yang menjadi isu krusial. Penjelasan terhadap pasal-pasal kontroversial itu berdasarkan masukan dari unsur masyarakat, akademisi, kementerian, dan institusi penegak hukum.

“Kami memberikan penjelasan terhadap 14 isu krusial,” ujar Prof Edward Omar Sharif Hiariej dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (25/5/2022) kemarin.

Dia menerangkan 14 isu krusial tersebut. Pertama, Pasal 2 yang mengatur living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Dalam penjelasan, living law yang menentukan seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat. Pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan, jika perbuatan pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) RKUHP.

Kemudian, pemenuhan kewajiban adat setempat dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II. Serta dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana (Pasal 96 RKUHP, red). Pidana pengganti dapat juga berupa pidana ganti rugi.

Baca Juga:

Kedua, Pasal 100 mengatur pidana mati. Berbeda dengan KUHP yang menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok. RKUHP menempatkan sebagai ancaman pidana paling akhir dijatuhkan dan sebagai pidana alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu paling lama 20 tahun dan pidana penjara seumur hidup.

“Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1),” ujarnya.

Ketiga, Pasal 218 terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Keempat, Pasal 252 terkait dengan tindak pidana dengan memiliki kekuatan ghaib. Menurut pria yang biasa disapa Edy itu, tindak pidana tersebut merupakan delik formil, sehingga tak perlu ada akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana itu yang dipidana apabila seseorang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan untuk menimbulkan penyakit dan lainnya.

Dia beralasan tindak pidana tersebut perlu dikriminalisasi karenan beberapa hal. Seperti, sifatnya sangat kriminogen (dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana lain) dan viktimogen (secara potensial dapat menyebabkan kerugian berbagai kepentingan). Kemudian melindungi kepentingan individual (misalnya mencegah praktik penipuan). Serta melindungi religiusitas dan ketentraman hidup beragama yang dilecehkan oleh perbuatan syirik.

Kelima, Pasal 278-279 yang mengatur tentang unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih. Pemerintah dalam penjelasannya, pasal tersebut telah diatur dalam Pasal 549 KUHP. Karenanya pemerintah mengusulkan mengubah Pasal 278 dan 279 RKUHP menjadi delik materil. Pasal ini masih diperlukan dalam melinduungi para petani yang berpotensi mengalami kerugian akibat benih atau tanamannya dirusak unggas/ternak milik orang lain.

Keenam, Pasal 281 tentang contemp of court. Keberadaan pasal tersebut diatur dalam memberikan kepastian perlindungan hukum bagi hakim dan aparatur pengadilan, hingga menjadi dasar hukum untuk menegakkan kewibawaan pengadilan. Menurutnya, pemerintah mempertahankan pasal tersebut dengan perubahan pada penjelasan Pasal 281 huruf c, sehingga berbunyi: Yang dimaksud dengan “dipublikasikan secara langsung” misalnya, live streaming, audio visual tidak diperkenankan. Sehingga tidak mengurangi kebebasan jurnalis atau wartawan untuk menulis berita dan mempublikasikannya. Yang pasti, pasal tersebut diatur demi ketertiban umum agar menghindari opini publik yang dapat mempengaruhi putusan hakim.

Ketujuh, Pasal 304 tentang penodaan agama. Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu berpandangan dengan mempertimbangkan usulan masyarakat, pemerintah mengusulkan untuk mereformulasi rumusan Pasal 304. Alhasil, terdapat 3 perbuatan yang diatur. Seperti melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; menyatakan kebencian atau permusuhan; atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia.

“Perbuatan dalam rumusan ini telah disesuaikan dengan perbuatan sebagaimana diatur dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, serta dipandang lebih jelas jika dibandingkan dengan kata ‘penodaan’ pada rumusan pasal sebelumnya,” kata dia.

Kedelapan, Pasal 342 tentang penganiayaan hewan. Menurutnya, pemerintah telah menambahkan penjelasan Pasal 342 ayat (1) huruf a. Dengan demikian menjadi berbunyi “Yang dimaksud dengan ‘kemampuan kodrat’ adalah kemampuan hewan yang alamiah”. Kesembilan, Pasal 414-416 tentang alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan.

Dalam penjelasan, Pasal 414 tidak ditujukan bagi orang dewasa, melainkan untuk memberikan pelindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas. Pengecualian Pasal 414 bila dilakukan untuk program KB, pencegahan penyakit menular seksual, kepentingan pendidikan, dan untuk ilmu pengetahuan. Kemudian dilakukan untuk kepentingan pendidikan. Sementara rumusan Pasal 416 RKUHP sesuai dengan Pasal 28 UU No.52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.

Kesepuluh, Pasal 431 tentang Penggelandangan. Menurutnya, pemerintah mengusulkan agar rumusan Pasal 431 tetap diatur dalam draf RKUHP. Tujuannya agar dapat menjaga ketertiban umum. Sanksi yang diberikan pun bukan pidana pemenjaraan, tapi sebatas pidana denda. Malahan dimungkinkan pidana alternatif berupa pengawasan atau pidana kerja sosial. Alasan lainnya, akibat adanya putusan MK No.29/PUU-X/2012 yang menguatkan pengaturan penggelandangan dalam draf RKUHP.

Kesebelas, Pasal 469-471 tentang aborsi. Menurutnya, pemerintah mengusulkan penambahan 1 ayat baru yang menyebutkan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak melebihi 12 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis”. Penambahan 1 ayat baru tersebut memberi pengecualian bagi pengguguran kandungan untuk perempuan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis atau hamil karena korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak lebih dari 12 minggu.

“Ketentuan dalam ayat baru tersebut merupakan ketentuan yang telah diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” ujarnya.

Kedua belas, Pasal 417 tentang Perzinahan. Menurutnya, tak ada satupun agama yang membolehkan perzinahan. Sebab perzinahan menjadi kejahatan tanpa korban (victimless crime) yang secara individual tidak langsung melanggar hak orang lain, tapi melanggar nilai budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat. Pasal 417 bagi pemerintah bentuk penghormatan terhadap lembaga perkawinan. Rumusan pasal tersebut sebagai delik aduan yang hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampak. Seperti suami, istri, orang tua, atau anaknya.

Ketiga belas, Pasal 418 tentang kohabitasi. Rumusan pasal tersebut merupakan delik aduan. Pengadunya hanya dapat diajukan orang-orang yang terdampak. Namun begitu, pemerintah mengusulkan menghapus ketentuan kepala desa yang dapat mengajukan aduan. Dengan begitu, aduan hanya dapat dilakukan suami/istri (bagi yang terikat perkawinan), atau orang tua atau anak (bagi yang tidak terikat perkawinan).

Keempat belas, Pasal 479 tentang perkosaan. Menurutnya, perkosaan dalam perkawinan (marital rape) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 agar konsisten dengan Pasal 53 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tapi kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan.

Wakil Ketua Komisi III DPR Desmon Junaidi Mahesa mengatakan naskaf draf RKUHP sedianya telah diambil keputusan di tingkat pertama oleh DPR periode 2014-2019 lalu. Hanya saja saat itu, RKUHP salah satu RUU yang ditolak publik. Alhasil, pengambilan keputusan tingkat dua pun ditunda. Namun oleh DPR periode 2019-2024, RKUHP bakal diperjelas dengan disepakati  pembahasan lanjutan.

Artinya, kata Desmon, pasal-pasal yang telah dibahas dan disepakati oleh DPR periode 2014-2019 bersama pemerintah lalu tak dibahas ulang, tapi melanjutkan pembahasan terhadap isu-isu krusial. Termasuk adanya penambahan dan reformulasi rumusan sebagaimana yang disampaikan pemerintah. Karenanya, tidak ada pandangan fraksi lagi, lantaran pembahasan sejumlah pasal sudah rampung sebelumnya oleh DPR periode lalu. Menurutnya, setelah disepakati bersama antara DPR dan pemerintah soal nasib kelanjutan pembahasan RKUHP, pihaknya bakal melayangkan surat ke pemerintah melalui pimpinan DPR. “Komisi III akan bersurat ke presiden melalui pimpinan DPR soal tindak lanjut RKUHP.”

Tags:

Berita Terkait