Bahasa Hukum: ‘Diskresi’ Pejabat Pemerintahan
Berita

Bahasa Hukum: ‘Diskresi’ Pejabat Pemerintahan

Ancaman pidana korupsi rupanya menjadi momok bagi banyak pejabat pemerintahan di Indonesia.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi diskresi pejabat pemerintahan. Ilustrator: BAS
Ilustrasi diskresi pejabat pemerintahan. Ilustrator: BAS
Ancaman itu terkesan semakin menakutkan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hadir dan berkali-kali menunjukkan taringnya, melakukan operasi tangkap tangan. Mereka yang tertangkap tangan tak hanya anggota DPR atau pejabat pemerintahan eksekutif, tetapi juga aparat penegak hukum seperti advokat dan hakim. Semenjak banyak penyelenggara pemerintahan terkena kasus korupsi, muncullah suara yang menginginkan perlindungan hukum terhadap penyelenggara pemerintah, khususnya kepala daerah.

Mereka yang bersuara keras meminta perlindungan itu terkesan menjadikan penegakan hukum korupsi sebagai ‘kambing hitam’ minimnya realisasi anggaran atau minimnya pembangunan. Mereka tak bisa berkreasi karena takut kesandung tuduhan korupsi. Mereka mengadu berkali-kali kepada petinggi negara ini, minta ini minta itu, yang intinya agar ‘jangan dikriminalisasi’ kalau sedang menjalankan tugas. Apalagi kalau dalam menjalankan tugas itu mereka membuat ‘jalan pintas’, agar program lebih cepat terealisasi.

Pemerintah pun menyambutnya. Berkali-kali kepala pemerintahan meminta aparat penegak hukum tak melakukan kriminalisasi terhadap pengambil kebijakan. Terakhir, Presiden Joko Widodo, meminta aparat penegak hukum tidak gampang melakukan kriminalisasi terhadap kepala daerah. Pesan itu disampaikan Presiden saat memberikan pengarahan kepada Kapolda dan Kepala Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia di Jakarta, 19 Juli 2016.

Pernyataan senada pernah disampaikan Presiden di Istana Bogor, 24 Agustus setahun sebelumnya. Intinya, Presiden meminta aparat penegak hukum tidak memidanakan kebijakan atau diskresi. Lalu, aparat penegak hukum tidak sembarangan memidanakan tindakan administrasi pemerintahan. “Tolong dibedakan mana yang beneran nyolong dan mana yang itu tindakan administrasi,” kata Presiden (Media Indonesia, 20 Juli 2016).

Kata kunci dari pernyataan Presiden adalah ‘diskresi’. Diskresi itu dibayangkan sebagai langkah mendobrak stagnasi, mencari jalan pintas agar suatu program berjalan, atau menyiasati sesuatu agar tujuan yang diinginkan cepat tercapai. Lantas, apakah sebenarnya diskresi itu?

Sederhananya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015: 334) mengartikan diskresi sebagai kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi.

Kamus Hukum terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN, 2004: 68) mendefinisikannya sebagai kekuasaan bertindak dari pejabat pemerintah dalam situasi tertentu berdasarkan keyakinannya yang mengarah pada kebaikan, keadilan, dan kelayakan.

Kata diskresi berasal dari bahasa asing. Coba simak makna kata discretion dalam Black’s Law Dictionary, edisi ketujuh (1999: 479) discretion mengandung dua pengertian. Diskresi bisa diartikan sebagai ‘a public official’s power or right to act in certain circumstances according to personal judgement and conscience’. Pengertian yang pertama ini sering disebut juga discretionary power. Diskresi juga bisa bermakna ‘the capacity to distinguish between right and wrong, sufficient to make a person responsible for his/her own actions’. Lalu, diskresi juga bisa diartikan sebagai ‘wise conduct and management; cautious discernment; prudence’.

Discretiedalam kamus bahasa Belanda diartikan sebagai ‘kesederhanaan, sifat hati-hati, sifat diam, kesadaran untuk tidak menyampaikan sesuatu’ (S. Wojowasito, 2003: 146).

Istilah diskresi selama ini lebih banyak dikaji dalam bidang hukum administrasi negara. Namun, diskresi tampaknya bukan hanya domain bupati, walikota, gubernur, atau menteri. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim pun dianggap punya diskresi. Aparat penegak hukum seperti polisi dan hakim punya diskresi (Baca artikel: Penegakan Aturan Lalu Lintas dan Diskresi Polisi, dan artikel Diskresi Hakim: Pandangan Orang Dalam).

Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, dua orang hakim, menulis buku Diskresi Hakim, Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana (2013). Mereka menulis berdasarkan sifatnya diskresi dibagi atas diskresi terikat dan diskresi bebas. Pembagian ini terkait kebebasan hakim memilih langkah apa yang akan ditempuh. Misalnya keputusan untuk menahan atau menghukum seseorang.

Mantan hakim agung, Abbas Said, termasuk yang mencoba menjadikan diskresi sebagai fokus kajiannya saat menempuh doktor ilmu hukum di Universitas Padjadjaran Bandung. Disertasinya, ‘Pengawasan Terhadap Penggunaan Diskresi oleh Polisi dan Jaksa dalam Proses Penegakan Hukum Pidana’, banyak mengutip definisi dan cakupan diskresi. Menurut Abbas (2013: 40), pada dasarnya diskresi adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang. Masalahnya, tidak semua undang-undang mengatur semua tindak tanduk pejabat pemerintah. Karena itu diperlukan kebebasan atau diskresi bagi pejabat dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

UU Administrasi Pemerintahan
Setelah sekian lama diperdebatkan batas-batasnya, Pemerintah dan DPR akhirnya menyetujui bersama masalah diskresi diatur. Maka, materi muatan tentang diskresi bisa ditemukan dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Diskresi diatur dalam satu bab khusus berisi 11 pasal (Pasal 22-32).

Diskresi menurut UUAP adalah Keputusan danatau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkrit yang dihadapi dalam penyelengggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Dari definisi ini ada beberapa poin yang bisa diambil. Pertama, diskresi hanya bisa dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Pejabat yang tak berwenang tidak bisa melakukan diskresi. Lalu, muncullah pertanyaan: apakah seorang pelaksana harian (Plh) atau pelaksana tugas (Plt) bisa melakukan mutasi dan rotasi pejabat dengan dalih diskresi? (Baca artikel: ‘Pelaksana Tugas, Pelaksana Harian, dan Penjabat,)

Kedua, lingkup diskresi itu meliputi: (i) peraturan perundang-undangan memang memberikan pilihan atau opsi kepada pejabat berwenang; (ii) peraturan perundang-undangan tidak mengatur; (iii) peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan (iv) ada stagnasi pemerintahan sehingga perlu tindakan guna kepentingan yang lebih luas.

Persyaratan diskresi
Seorang pejabat yang berwenang bisa melakukan diskresi jika memenuhi syarat. UUAP memuat setidaknya enam syarat penting. Pertama, diskresi itu harus sesuai dengan salah satu atau beberapa tujuan yang dapat dibenarkan, yakni: (i) melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; (ii) mengisi kekosongan hukum; (iii) memberikan kepastian hukum; atau (iv) mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Syarat kedua, diskresi itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance). Keempat, berdasarkan alasan-alasan yang objektif. Alasan-alasan objektif dalam konteks ini mengandung arti alasan itu sesuai fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, rasional, serta berdasarkan asas good governance.Kelima, tidak menimbulkan konflik kepentingan. Keenam, dilakukan dengan iktikad baik. Iktikad baik dalam konteks ini adalah keputusan yang ditetapkan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan motif kejujuran dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Persetujuan, pemberitahuan, pelaporan
Jika dibaca dalam konstruksi UUAP, akan terlihat diskresi yang mengatur syarat lain berupa persetujuan, pemberitahuan, dan pelaporan. Pejabat yang mengambil diskresi wajib mendapatkan persetujuan dari Atasan Pejabat jika (i) penggunaan diskresi berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib; atau (ii) jika diskresi dilakukan karena ada opsi, tak ada peraturan, atau peraturan tidak jelas namun tindakan itu berpotensi membebani keuangan negara. Dalam praktiknya, pejabat harus membuat permohonan persetujuan tertulis.

Syarat pemberitahuan harus ditempuh sebelum diskresi diambil jika diskresi (i) menimbulkan keresahan masyarakat; (ii) keadaan darurat; (iii) mendesak; atau (iv) terjadi bencana alam. Pemberitahuan juga wajib dilakukan jika diskresi diambil guna mengatasi stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas sepanjang diyakini langkah itu berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat.

Syarat pelaporan (setelah penggunaan diskresi) diberlakukan jika langkah mengatasi stagnasi pemerintahan itu dilakukan saat terjadi keadaan darurat, keadaan mendesak, atau terjadi bencana alam. Artinya, pejabat yang mengambil diskresi harus melaporkan tindakannya kepada Atasan Pejabat setelah selesai dijalankan.

Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Eko Prasojo, merangkum jenis diskresi, kondisi, dan prasyaratnya dalam presentasinya ‘Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Reformasi Penyelenggaraan Pemerintahan’.
Jenis-Jenis Diskresi
Jenis/Bentuk DiskresiKondisiPra/syarat Melakukan Diskresi

D
I
S
K
R
E
S
I
Diskresi dalam keadaan normal ·        Berpotensi mengubah alokasi anggaran, atau
·        Membebani keuangan negara
Persetujuanatasan. Sebelum diskresi dilakukan

Paling lama 5 hari harus ditetapkan
Diskresi dalam keadaan tidak normal ·        Menimbulkan keresahan masyarakat.
·        Keadaan darurat.
·        Mendesak, dan/atau
·        Bencana alam
Pemberitahuanatasan. Sebelum diskresi dilakukan (5 hari disampaikan)

Pelaporan. Setelah diskresi dilakukan (5 hari setelah)
Akibat hukum
UUAP membagi akibat hukum diskresi ke dalam tiga kategori. Kategori pertama, melampaui wewenang yang berakibat diskresi menjadi tidak sah. Kategori ini dianggap terjadi jika: (a) pejabat bertindak melampaui batas waktu berlakunya wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan; (b) pejabat bertindak melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yang diberikan; atau (c) tidak sesuai dengan ketentuan prosedur penggunaan diskresi yang diatur dalam Pasal 26-28 UUAP.

Kategori kedua adalah mencampuradukkan wewenang yang berakibat diskresi itu dapat dibatalkan. Kategori ini terjadi jika penggunaan diskresi tidak sesuai tujuan wewenang yang diberikan, tak sesuai prosedur penggunaan, atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Kategori terakhir adalah tindakan sewenang-wenang yang berakibat diskresi menjadi tidak sah. Ini terjadi jika diskresi itu dilakukan atau dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.
Tags:

Berita Terkait