​​​​​​​Bahasa Hukum Indonesia: Setelah 45 Tahun Simposium Medan-Parapat
Potret Kamus Hukum Indonesia

​​​​​​​Bahasa Hukum Indonesia: Setelah 45 Tahun Simposium Medan-Parapat

Bahasa hukum sudah mendapat perhatian kalangan ahli bahasa dan ahli hukum sejak 1970-an. Lambat laun makin hilang?

Oleh:
Muhammad Yasin/RFQ/NEE
Bacaan 2 Menit

 

Setelah Simposium Bahasa dan Hukum di Medan, Badan Pembinaan Hukum Nasional memulai program berkelanjutan untuk mendukung pembinaan dan pengembangan bahasa hukum. Pada pertengaha 1977, misalnya, BPHN menugaskan Mahadi dan seorang ahli bahasa dari Medan, Sabaruddin Ahmad, untuk menuliskan karya ilmiah tentang bahasa hukum. Hasil karya kedua akademisi ini adalah terbitnya Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Selain itu, untuk menopang pengembangan bahasa hukum, disusunlah istilah-istilah hukum dan kamus hukum, hasil kerjasama BPHN dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Seolah mengenang seminar bahasa dan hukum itu, pada 13 Maret lalu, Komisi Yudisial menggelar sesi diskusi bahasa hukum dengan wartawan lokal, terutama mendiskusikan kesalahan-kesalahan dalam penulisan karya jurnalistik hukum. Meskipun diskusi sederhana dalam rangka sinergitas Komisi Yudisial dengan media massa, langkah Komisi Yudisial itu memompa kembali perhatian terhadap bahasa hukum yang pernah begitu massif pada dekade 1980-an.

 

Pada dekade 1980-an puluhan karya tulis dihasilkan, berfokus pada bahasa hukum baik secara teoritis maupun praktek di pengadilan, notaris, dan bahasa perundang-undangan. Profesor Mardjono mengenang Badan Pembinaan Hukum Nasional intensif melakukan kajian-kajian dengan melibatkan akademisi. Salah satu yang dihasilkan ada kamus hukum. Bahkan untuk mengisi kekosongan literatur bahasa hukum, penerbit Binacipta Bandung menerjemahkan kamus hukum Fockema Andreae yang terkenal. Ada juga penyusunan istilah-istilah hukum dalam bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia. “Seingat saya ada komisi khusus untuk menerjemahkan,” ujarnya seraya menyebut BPHN masih bernama LPHN dan berlokasi di gedung yang tak jauh dari gedung Bina Graha Jakarta.

 

Laras bahasa hukum

Kajian yang sangat komprehensif mengenai bahasa hukum adalah disertasi Ab Massier di Universitas Leiden. Beberapa akademisi Indonesia juga menulis buku tentang bahasa hukum, misalnya Hilman Hadikusuma (Bahasa Hukum Indonesia), Junaiyah H. Matanggui (Bahasa Indonesia untuk Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan), dan Lilis Hartini (Bahasa dan Produk Hukum).

 

Gregory Churchill, Indonesianis yang banyak melakukan kajian tentang akses terhadap informasi dan dokumentasi hukum, pernah menyusun sebuah tulisan di jurnal Jentera (edisi 1/Agustus 2002). Ia memperlihatkan pengaruh beragam sistem hukum ke dalam bahasa hukum di Indonesia. Istilah ‘kemitraan’ dari bahasa Sanskerta, ‘zakat’ dari hukum Islam, ‘per diem’ dari bahasa Latin, istilah ‘class action’ dari sistem hukum Amerika Serikat, dan banyak istilah yang diserap dan diterjemahkan dari bahasa Belanda.

 

Menurut Lilis Hartini, salah satu problem yang dikeluhkan selama ini adalah sulitnya orang awam memahami bahasa hukum. Komunitas hukum menganggap mereka punya bahasa dan istilah-istilah khusus yang berbeda dari orang kebanyakan. Dosen Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) ini melihat hingga kini masih ada jurang antara komunitas hukum dan masyarakat umum pengguna bahasa. Mestinya, kata dia, komunitas hukum pun harus tunduk pada standarisasi berbahasa Indonesia sebagaimana diamanatkan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.

 

Komunitas hukum menganggap punya bahasa khas antara lain karena satu kata bisa dimaknai berbeda. Seorang advokat dan jaksa bisa mempunyai penafsiran terhadap materi muatan suatu Undang-Undang. Namun, Lilis mempertanyakan kekhasan bahasa hukum dimaksud. “Di situ, ada peluang bahasa dipolitisasi,” ujarnya dalam wawancara dengan hukumonline di Bandung, 17 Juli lalu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait