​​​​​​​Bahasa Hukum Indonesia: Setelah 45 Tahun Simposium Medan-Parapat
Potret Kamus Hukum Indonesia

​​​​​​​Bahasa Hukum Indonesia: Setelah 45 Tahun Simposium Medan-Parapat

Bahasa hukum sudah mendapat perhatian kalangan ahli bahasa dan ahli hukum sejak 1970-an. Lambat laun makin hilang?

Oleh:
Muhammad Yasin/RFQ/NEE
Bacaan 2 Menit

 

Selain itu, ada banyak ciri bahasa peraturan perundang-undangan, misalnya, lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan. Contoh yang paling pas untuk menggambarkan ini adalah penerjemahkan istilah bezitter dan eigenar dalam hukum perdata. Jika tak memahami filosofinya, sangat mungkin orang mengartikan kedua kata itu sebagai pemilik. Ciri lain adalah bercorak hemat, dalam arti hanya kaya yang diperlukan yang dipakai; membakukan makna kata, ungkapan atau istilah  yang digunakan secara konsisten; dan memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat.

 

Dalam pilihan kata atau istilah, bahasa hukum Indonesia juga sudah memiliki beberapa pola baku. Misalnya, untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum ancaman pidana atau batasan waktu, maka dipakai kata ‘paling’. Frasa ‘paling singkat’ atau ‘paling lama’ dipakai untuk menyatakan jangka waktu; sedangkan frasa ‘ paling lambat’ atau ‘paling cepat’ jika ingin menyatakan batas waktu.

 

Mengubah kebiasaan penggunaan bahasa hukum sejak era Hindia Belanda, termasuk format dokumen-dokumen hukum, memang bukan pekerjaan mudah. Tetapi perubahan secara perlahan perlu dilakukan. Untuk melakukan itu, kerjasama komunitas hukum dan komunitas bahasa mutlak diperlukan. Lilis Hartini mengusulkan antara lain penggunaan semiotika untuk menafsir hukum. Pendekatan ini juga pernah diajukan Prof. Sutandyo Wignyosubroto.

 

Kurangnya perhatian pada bahasa hukum baik pada Seminar Hukum Nasional maupun Kongres Bahasa Indonesia beberapa waktu belakangan, memperlihatkan semangat yang tak sejalan dengan Simposium Bahasa dan Hukum di Medan-Parapat, 45 tahun silam.

Tags:

Berita Terkait