Baleg Sorot Kapolri Soal Penindakan Otak Pembakaran Hutan
Berita

Baleg Sorot Kapolri Soal Penindakan Otak Pembakaran Hutan

Kapolri dinilai keliru dalam memaknai jeratan hukum terhadap pelaku pembakar hutan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: change.org
Foto: change.org
Sulitnya aparat penegak hukum menindaklanjuti proses hukum terhadap pelaku pembakaran hutan menjadi persoalan serius. Meski berhasil melakukan penangkapan terhadap para pelaku pembakar hutan, namun pelaku utama berupa korporasi sulit dibuktikan.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg), Firman Subagyo, mengatakan kebakaran hutan yang sudah menjadi musiman di  wilayah Kalimantan dan Sumatera, seperti tak dapat ditanggulangi maksimal. Belakangan, Indonesia di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono sudah memiliki perjanjian dengan negara tetangga seperti Malaysia. Intinya, bila terjadi kebakaran hutan dan asapnya sampai ke negara tetangga, maka Indonesia bakal dikenakan denda.

Persoalan bertambah dengan pernyataan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Menurut Firman, Kapolri mengaku sulit menjerat pelaku pembakar hutan. Padahal, berbagai instrumen perundangan seperti UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H).

“Saya sangat menyayangkan pernyataan sikap Kapolri sulit menjerat hukum pelaku pembakaran hutan, seperti tidak ada aturan hukumnya, ini sangat saya sayangkan,” ujarnya dalam rapat Baleg di Gedung DPR, Kamis (10/9).

Dikatakan Firman, kebakaran hutan tak saja berdampak pada kesehatan masyarakat di dalam negeri, tetapi juga kenyamanan lingkungan hidup di negara tetangga. Selain itu, juga berdampak pada konsekuensi politik dan hukum. Firman berpandangan, regulasi yang mengatur pelaku pembakaran hutan, penyidik Polri mestinya dapat mencari delik hukumnya.

“Saya rasa penting pekan depan kita mengundang Kapolri dan menhut untuk menanyakan dimana UU yang tidak bisa menjerat hukum pelaku dan korporasi pembakar hutan,” ujarnya.

Politisi Partai Golkar itu memang konsern terhadap persoalan lingkungan hidup dan kehutanan. Maklum, pada DPR periode lalu, Firman menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IV yang membidangi pertanian dan kehutanan. Itu sebabnya Firman terlibat penuh dalam pembuatan UU No.18 Tahun 2013.

Selain meminta penjelasan Kapolri dan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, setidaknya Baleg menginginkan masukan apakah UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan layak dilakukan revisi atau sebaliknya. Namun Firman berpendapat UU No.41 Tahun 1999 sudah layak dilakukan revisi.

Ketua Baleg Sareh Wiyono mengamini pandangan Firman. Menurutnya, pernyataan Kapolri yang sulit menghukum pelaku pembakar hutan seolah ‘menampar wajah’ DPR. Pasalnya, DPR selaku pembuat UU seolah seperti tidak memperhatikan aturan jeratan hukum terhadap pelaku pembakar hutan.

“Alasan apa tidak ada UU yang dapat menjerat pelaku dan korporasi pembakar hutan. Saya setuju (pemanggilan Kapolri dan Menhut),” ujarnya.

Pria yang malang melintang di dunia peradilan sebagai hakim itu menilai, Kapolri keliru dalam memaknai jeratan hukum terhadap pelaku pembakar hutan dalam UU. Pasalnya, selain UU P3H, setidaknya masih terdapat UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurutnya, dalam UU No.32 Tahun 2009 setidaknya terdapat tiga aspek yang dapat menjerat pelaku korporasi pembakar hutan.

Pertama, aspek administrasi. Yakni, korporasi yang terbukti melakukan pembakaran hutan dapat dicabut hak izin usahanya. Kedua, dapat dijerat dengan aspek keperdataan ganti rugi. Ketiga, tentunya dangan pemidanaan. “Jadi ada tiga pasal yaitu aspek perdata, administrasi dan pidana,” ujarnya.

Anggota Baleg Wenny Warow berpandangan, sejatinya penegak hukum mesti melakukan kajian terhadap UU No.32 Tahun 2009 terkait perorangan maupun korporasi yang membakar hutan. Menurutnya, dalam UU tersebut terdapat ada ancaman hukuman terhadap perorangan maupun korporasi yang melakukan pembakaran hutan.

“Jadi apa beliau (Kapolri) salah omong itu haus kita luruskan dan ada rencana untuk memanggil Kapolri dan Menhut,” kata anggota Komisi III itu.

Ketua Komite II Dewan Pimpinan Daerah (DPD), Parlindungan Purba, menambahkan pemerintah mesti memberikan punisment terhadap perusahaan yang tidak mampu menjaga lingkungan hutan. Atas dasar itulah tidak ada alasan penegak hukum tdiak dapat menangkap pelaku pembakaran hutan.

“Ini harus ditangkap pengusaha yang membakar hutan. Ini ada main actornya, ini masalah lingkungan dan tidak main-main,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait