‘Banjir’ Pujian untuk Sosok Wahiddudin Adams
Utama

‘Banjir’ Pujian untuk Sosok Wahiddudin Adams

Ada pesan moral dari Wahiduddin Adams bahwa bangsa ini harus berpikir serius dalam pembentukan suatu UU. Sebab, pemenuhan pembentukan suatu UU bukan hanya memiliki arti formal, tapi berimplikasi secara langsung terhadap materi UU itu sendiri.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 7 Menit

Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai dissenting opinion Wahiduddin Adams memperlihatkan ada keinginan memperbaiki proses pembentukan UU KPK yang karut marut. Sebab, bila hakim konstitusi tidak memperbaiki proses itu, DPR dan pemerintah akan semakin abai dalam pembentukan UU.

“Kondisi pembentukan UU seperti ini akan mengabaikan kepentingan publik/masyarakat dan sering membuat UU untuk kepentingan sekelonpok orang saja,” kata Feri saat dihubungi Hukumonline, belum lama ini.

Menurutnya, meskipun putusan MK terkait pengujian UU KPK ini sangat buruk, tetapi dissenting opinion Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memperlihatkan ada yang salah di MK dalam memahami tata cara pembentukan UU KPK ini sejak awal. (Baca Juga: Dua Pakar Hukum Ini Kritik Keras Putusan Pengujian UU KPK)

Dasar pijakan konstitusional

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Ilham Wayank Hermawan menilai 4 argumentasi Wahiduddin Adams sebagai indikator spesifik yang menyebabkan UU KPK mengandung persoalan konstitusionalitas. Pertama, tidak diterimanya common sense DIM RUU KPK yang hanya disiapkan kurang dari 24 jam. Kedua, tidak lazimnya letak narasi pengesahan dan pengundangan. Ketiga, relatif cepat menetapkan revisi UU KPK menjadi UU, meskipun Presiden Joko Widodo tidak menandatangani UU KPK. Keempat, penilaian Wahiduddin terhadap keterangan komisioner KPK selaku Pihak Terkait.

“Tapi, bagi saya ada hal yang lebih menarik yakni apa yang menjadi pijakan dasar Wahiduddin Adams sebagai alas untuk meletakan seluruh narasi argumentasi konstitusionalnya. Suatu pijakan yang membangunkan saya secara pribadi harus membaca berulang-ulang, harus merenung ulang, sebagai bentuk betapa terpaku dengan apa yang dinyatakannya tersebut,” kata dia dalam status facebooknya yang dikutip Hukumonline.

Wahiduddin Adams menyatakan “Jaminan konstitusionalitasnya pembentukan suatu Undang-Undang tidaklah semata-mata hanya dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 5, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945, melainkan wajib didasarkan pula pada Staatsidee yang berdasarkan kearifan asli bangsa Indonesia serta pasal-pasal terkait lainnya dalam UUD NRI Tahun 1945...”

Pernyataan tersebut, kata Ilham, Wahiduddin Adams menekankan pentingnya pembentukan suatu UU. Wajah pembentukan suatu UU bukan hanya wajah formal dari adanya ketentuan UU dan UUD, tetapi merupakan kebajikan moral suatu bangsa. Kata “bangsa” yang digunakan bukan tanpa dasar. Wahiduddin Adams menyebutnya “Staatsidee”. Secara teori staatsidee terbentuk dari filsafat hidup bangsa.

Tags:

Berita Terkait