‘Banjir’ Pujian untuk Sosok Wahiddudin Adams
Utama

‘Banjir’ Pujian untuk Sosok Wahiddudin Adams

Ada pesan moral dari Wahiduddin Adams bahwa bangsa ini harus berpikir serius dalam pembentukan suatu UU. Sebab, pemenuhan pembentukan suatu UU bukan hanya memiliki arti formal, tapi berimplikasi secara langsung terhadap materi UU itu sendiri.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 7 Menit

“Moch Koesnoe menyatakan dari filsafat hidup kita bentuk rechtsidee (cita hukum) yang kemudian menjadi konsep hukum yang kategoris dan asas-asas hukum yang pada akhirnya menjadi staatsidee yang merupakan pondasi semua norma hukum positif termasuk UUD. Maka tepatlah Wahiduddin Adams menyatakan bahwa pembentukan suatu UU harus sesuai dengan 'kearifan asli bangsa Indonesia',”.

Bahkan, jika ditelisik berdasarkan teori penafsiran konstitusi cara pembacaan Wahiduddin Adams bernuansa seperangkat nilai dasar, atau adanya tradisi hak alami sebagaimana dinyatakan Grey yang disebut dengan Fundamental Law. “Jadi konstitusional dinilai sebagai seperangkat fakta moral atau keadilan yang membentuk konstitusi,” jelasnya mendefinisikan maksud dari dissenting Wahiduddin Adams.

Menurut Ilham, ada pesan moral dari Wahiduddin Adams bahwa bangsa ini harus berpikir serius dalam pembentukan suatu UU. Sebab, pemenuhan pembentukan suatu UU bukan hanya memiliki arti formal, tapi berimplikasi secara langsung terhadap materi UU itu sendiri. Jika terdapat pasal “jantung” dalam UU yang jika dibatalkan dapat membatalkan UU secara keseluruhan. “Ketiadaan pemenuhannya (secara formal, red) bukan hanya membatalkan UU itu sendiri, akan tetapi Undang-Undang itu anggap tidak pernah ada.”

Untuk diketahui, Wahiduddin Adams merupakan hakim konstitusi usulan DPR untuk periode pertama 21 Maret 2014 s.d. 21 Maret 2019 dan berlanjut ke periode kedua 21 Maret 2019 s.d. 21 Maret 2024. Sebelum menjadi hakim konstitusi, Wahiduddin Adams terakhir menjabat Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan pada Kemenkumham. Sebagai mantan pejabat eselon I yang mengurusi proses pembentukan di pemerintahan ini, tentu Wahiduddin tahu betul bagaimana prosedur pembuatan peraturan perundangan-undangan yang baik.

Antara pekerjaannya sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan dengan Hakim Konstitusi ada persamaan. Tolak ukurnya tetap sama, Undang-Undang Dasar 1945. Saat pembentukan kita berusaha agar tidak bertentangan dengan UUD 1945). Kalau di sini ya menguji undang-undang yang telah dibuat pemerintah dan DPR terhadap UUD 1945,” ujar Wahiduddin seperti dilansir laman MK.      

Latar belakang pendidikan Wahiddiuddin merupakan bidang ilmu Peradilan Islam dari Fakultas Syariah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta hingga meraih gelar doktor di universitas yang sama. Ia juga tercatat sebagai dosen PNS di universitas yang kini bernama UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum. Lalu, Pria kelahiran Palembang, 17 Januari 1954 ini memparipurnakan pendidikannya dengan mengambil program S-1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah demi meraih gelar sarjana hukum pada tahun 2005 setelah ia meraih gelar doktor.

Tags:

Berita Terkait